Minggu, 09 Februari 2020

Apoteker Beretika


Bismillah..

Sebenernya saya grogi buat nulis lagi, karena kalau udah mulai nulis, berarti harus siap bertanggung jawab atas tulisan yg dipost. Sedangkan saya orangnya masih emosian, gak pinter banget juga soal kefarmasian. Tapi yah, daripada sedihnya dipendam, mari coba disampaikan.

Jadi, salam kenaaaal! Saya Ami/Sekar, dulu pernah jadi demonstran, lulus, trus kerja jadi ajudan, dan sekarang pindah ngurusin anggaran. Saya berbicara bukan atas nama instansi, meskipun pendapat saya pasti akan banyak dipengaruhi oleh pengalaman selama kerja di sini.

Belakangan sedih juga melihat apa yang tengah terjadi di sekitar saya. Bukan karena PMK 3, bukan juga karena SIAP yang berbayar. Saya sedih melihat cara protes teman-teman sejawat yang cenderung frontal, dan tidak seperti apoteker seharusnya. Kita kan dulu belajar bedah kasus ya, kalau nggak salah sih di matkul Farmakoterapi. Dulu juga pernah diajarin berpikir kritis menganalisis masalah waktu di BEM. Seinget saya, advokasi itu ada tahapannya, nggak langsung turun ke jalan. Ada proses kajiannya, setelah itu ada proses hearing dengan pemegang kebijakan, kalau nggak didengarkan juga, baru turun ke jalan.

Sama kan ya kayak kita mau nanganin pasien, dilihat dulu penyebab utamanya apa, penyakit penyertanya apa, kalau dikasih intervensi ini ada efek sampingnya nggak, ada kemungkinan interaksi obat atau enggak, cara ngasih obatnya gimana biar sesuai dengan kondisi pasien, dst.  See? Sejak kuliah kita udah diajarin buat kritis dan berhati-hati kalau mau mengambil tindakan. Begitu pula dalam bersikap. Misal mau ikutan protes soal PMK 3, tahu nggak kenapanya? Kalau masih belum terima alasannya, sudah coba disampaikan seharusnya gimana?

Saya cukup bisa memahami perasaan teman-teman  yang gak terima, rame di media sosial, sampe ada yang demo. Tapi sebelum ikut demo, sudahkah memastikan kita tahu apa yang disuarakan? Sudah tahu langkah apa yang sudah ditempuh dan tindak lanjutnya? Dulu saya pernah jadi demonstran, lalu kerja jadi ajudan. Berada di dalam lingkaran tempat dibentuknya kebijakan membuat saya mengerti, mengubah kebijakan itu butuh proses. Saya juga jadi dipaksa berkaca dulu, sebelum protes, saya bisa melakukan apa ya? Birokrasi kita lambat? Mungkin iya, tapi tidak berarti tidak dikerjakan juga. Sampaikan dengan baik dan bertanggung jawab, kawal. Proses mengawal ini lho yang kadang kita lupa.

Saya pernah coba bertanya, kenapa tidak kunjung ada UU Kefarmasian? Dijelaskanlah oleh atasan saya waktu itu, apa perbedaan UU dan PP, beserta konsekuensi hukum yang turut serta. Setelah itu jadi ingin belajar hukum dan tata negara yang benar itu seperti apa. Belum kesampaian belajar hukum dan tata negara, sekarang pindah ngurusin anggaran. Trus jadi penasaran juga, “Gimana caranya uang segini bisa menghasilkan manfaat sebanyak-banyaknya buat rakyat, tapi juga bisa diukur nilai manfaatnya?”.

Nah kalau untuk menjalankan pemerintahan aja butuh uang, nggak mungkin kan ya ada sistem informasi yang berjalan begitu saja tanpa butuh biaya? Google gratis? Kelihatannya aja gratis, tapi mungkin kita yang nggak tahu sistem mereka dapet duit gimana.

Kalau mau mengkritisi yang berbayar, pastikan saja yang dibayar itu transparan, jelas, dan ada laporan keuangan. Kalau minta sistem informasi itu gratis, nanti didemo sama orang IT lho. Dikira kita nggak menghargai kerja dan skill mereka. Kita aja sedih kan, kalo kerja nggak dibayar?

Oleh karena itu, saya ingin mengajak teman-teman apoteker yang masih muda, ayolah. Saya yakin apoteker itu pada dasarnya kritis dan beretika. Jika ada yang perlu dibicarakan, ada jalannya, ada cara yang baik dan beretika. Jangan mentah-mentah menerima propaganda. We’re more than that.

Ayo kritis dan beretika sama-sama. 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar