"Karena kesalahan orang lain bisa kita jadikan pelajaran untuk mencegah kita mengalami hal yang sama."
Sekarang kan lagi jaman nih bikin surat terbuka. Saya pengen ikut-ikutan ah, pengen bikin surat buat adek-adek saya yang masih mahasiswa S-1. :) Bukan gagal move on, hanya pemikiran ini memang baru muncul setelah saya lulus dan belum tahu kapan lagi merasakan status mahasiswa yang super enak itu. :)
Ini juga merupakan tulisan yang saya harap akan mencegah kalian mengalami hal nggak enak yang saya alami.
![]() |
Diambil dari FB Page d'BCN, tempat saya menempa diri sekarang |
Teman-teman mahasiswa, saya tidak tahu apakah kalian juga merasakan hal yang sama seperti saya dulu. Ketahuilah, saya bukan penyandang titel mahasiswa berprestasi atau teladan. Saya juga tidak punya sederet prestasi membanggakan di bidang akademik, kecuali Indeks Prestasi Kumulatif, yang itu pun pas-pas an mepet batas minimum angka yang membukakan jalan untuk S-2 atau kerja. Saya juga bukan penggiat aktivitas sosial yang ulet dan rajin membantu masyarakat. Saya hanya mahasiswa yang merasa salah jurusan, yang senang sekali memanfaatkan jatah 25% bolos yang dihalalkan untuk hal-hal yang kadang penting, kadang juga tidak. :)
Tapi saya merasakan hal-hal ini dulu,
- Males kuliah pagi, karena kasur sangat nyaman di pagi hari.
- Males dengerin dosen ngomong, karena ngantuk, merasa punya sederet cerita seru yang ingin dibagikan kepada teman sebelah bangku karena metode dosen yang membosankan dalam menyampaikan ilmu.
- Sering membatasi diri, meskipun saya ngeBEM, tapi sedikit sekali waktu dan effort yang saya berkenan luangkan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi untuk memperoleh prestasi.
- Sering menjadikan slogan, "Kuliah itu cari ilmu, bukan cari nilai." sebagai alasan buat nggak ngejar IP tinggi.
Adakah yang merasakan hal-hal tersebut juga? Kalau iya, nih saya coba kasih sudut pandang lain biar kalian nggak jadi kayak saya yang nggak punya apa-apa. :)
1. Tentang males kuliah pagi
Setelah kita kuliah, terutama yang ngekos, entah kenapa kuliah pagi menjadi hal yang cukup berat buat kita. Padahal dua belas tahun kita sekolah SD-SMP-SMA juga masuk sekolah jam 7 kan? Lah kok ini yang cuma kita jalanin 4-5 tahun aja bisa berubah yaa kebiasaan kita? Bahkan sejak semester pertama! :p
Well, kalau nyari alasannya mah bakal bejibun. Kagak ada habisnya. Tapi coba deh, yuk cari solusi, atau sudut pandang lain seperti kata bang Fahd Pahdepie.
"Mungkin kita tidak bisa mengubah masalah yang kita hadapi. Tetapi kita bisa mengubah cara pandang kita dalam melihat masalah itu." (Fahd Pahdepie)
Coba deh kita list, apa aja sih hal positif yang kita dapet ketika bangun pagi dan ikut kuliah pagi tanpa telat? Banyak lho, mulai dari sholat subuh yang nggak kesiangan dan buru-buru, sempet mandi (meskipun sebenernya nggak mandi juga sah-sah aja sih buat kuliah, :p), sempet sarapan, sempet menyapa Pak Satpam di parkiran, sempet milih parkiran dibawah atep biar nggak keujanan, sempet milih tempat duduk yang enak buat enak ngobrol, sempet bergosip ria bersilaturahmi sama temen-temen di luar lingkaran temen sebelahan tempat duduk sebelum kuliah, sempet ngerjain tugas kalo kelupaan (:p), dan lain-lain. Tuh kan, banyak? :)
Jadi, siap mencintai kuliah pagi? :)
2. Tentang males dengerin dosen ngomong.
Dosen itu kan ada yaa yang peduli banget sama soal ngomong sendiri ada yang cuek. Dan sebenernya kita sadar banget kan kalau itu salah. Meskipun kadang dosen yang ngebosenin kita jadikan alasan buat tidak mendengarkan beliau. Namun, sadarkah teman-teman, ada pembelajaran lain yang lebih dari sekedar itu adalah momen kita untuk mendapatkan ilmu dari beliau?
Diambil dari Megan's Blog |
Iya. Pembelajaran tentang mendengar teman-teman. Belajar berkenan mendengarkan orang lain, semembosankan apapun itu. Kemampuan mendengarkan ini penting buat kita setelah kita lulus nanti, terutama yang akan bekerja di sektor pelayanan publik. Gimana kita mendengarkan dengan sabar hal-hal yang nggak ingin kita dengarkan dari konsumen? Kapan coba belajarnya? Nunggu waktu kerja? Yakin langsung bisa sabar dan nggak ngeluh? Yakin bakal memilih bertahan di sektor tersebut dan bukan ketika ada penawaran lain kerjaan di belakang meja yang nggak melayani orang akan langsung kita samber? Wohoo.
Kerja di belakang meja atau non pelayanan juga perlu lho skill mendengarkan. :) Mendengarkan teguran si bos dengan lapang dada misalnya? :) Kalau jadi bos? Emang nggak perlu mendengarkan saran atau keluhan staf kalian? Iya keluhan juga. Daripada dia nggak pernah kita dengarkan terus malah ngember ke luar perusahaan? :) Pilih mana?
Saya juga baru nyadar hal ini setelah lulus sayangnya. Saya memang pernah belajar tentang bagaimana mendengarkan orang lain ketika ngeBEM. Tapi ngeBEM itu pun masih termasuk kondisi pilihan saya, dimana saya berkenan mendengarkan demi sesuatu yang saya suka. :) Bukan beneran menerima kondisi apapun yang ada di hadapan saya.
Dan kalau dipikir-pikir, mendengarkan itu ibadah lho teman-teman. :) Bikin dosen seneng kalau kita anteng, nggak ngomong sendiri, itu ibadah kan? Meskipun setelahnya mungkin kita masih perlu belajar dari sumber lain kalau ternyata kita diem nggak mudeng dan nggak berani nanya. :)
3. Tentang membatasi diri.
Saya kuliah di Farmasi yang memerlukan kuliah profesi setelah menyelesaikan S-1. Dan percaya nggak percaya, ini keluhan yang sering saya denger dari teman-teman saya ketika profesi, ketika mulai belajar bikin CV.
"Ya ampun, aku baru sadar kalau aku nggak punya apa-apa buat ditulis di CV selain data pribadi."
Saya? Saya lumayan sih ada pengalaman ngeBEM. Tapi, diem-diem saya juga nelangsa dalam hati, karena kolom prestasi tidak bisa saya isi. :')
Sedih nggak sih? Apalagi kalau yang nggak pakai kuliah profesi. Kebayang nggak? Selesai skripsi, trus wisuda, trus tiba-tiba harus segera cari kerja, bikin CV, dan ternyata nggak ada hal lain yang bisa diisi selain data diri. :)
Yaaah, bukan berarti kalian terus harus berorganisasi sih temen-temen. Saya juga anti banget dibilang berorganisasi cuma buat manjangin CV. It's a big NO for me. Tapi di sini, coba deh dari awal kuliah, definisikan temen-temen pengen dipandang seperti apa. Pengen dikenal sebagai apa oleh orang lain.
"Ah, saya mah mau jadi mahasiswa biasa-biasa aja."
Yakin? Masih mau bilang kalau kalian adalah mahasiswa biasa-biasa aja di depan interviewer besok? Nggak pengin kelihatan punya nilai lebih gitu, di antara ribuan pelamar yang lain?
Mau wirausaha kak. Oke. Boleh banget. Bagus malah. Tapi percayalah, saya yang baru membangun bisnis dua tahun terakhir di masa kuliah saya, itupun uring-uringan, membangun bisnis itu jauh lebih "mudah" ketika masih mahasiswa. Soalnya kalau gagal, masih punya orang tua tempat berlabuh ketika gagal dan nggak punya apa-apa. Soalnya bisnis itu nggak ada yang gampang, pasti ngalamin yang namanya naik turun. Bahkan di awal biasanya turun mulu sebelum akhirnya kita menemukan titik dimana kita bisa melesat naik. Kalau udah lulus? Nggak banyak orang tua yang sabar melihat anaknya membangun bisnis, terutama yang beliau juga nggak bisnis alias kerja kantoran. Dan kadang itu juga bikin kita menyerah pada keadaan dan merelakan diri ini menjadi karyawan dan membangun impian bos kita. :)
Jadi, balik lagi tentang mendefinisikan diri kita, pengen dikenal sebagai apa. "Who am I?". Materi ini pasti sering banget disampein di ospek. Tapi banyak dari kita yang membuatnya sekedar sebagai tugas ospek dan melupakannya begitu saja. Atau ada yang sungguh-sungguh tapi ketika menghadapi kenyataan untuk mewujudkan "Who am I?" yang dia tulis itu susah, dia langsung menyerah. Mengubah alur rencana, dan memutuskan berubah untuk mengalir saja mengikuti aliran. Alirannya kemana? Auk deh. Tenang aja, fakultas udah punya alur yang disiapkan buat mahasiswanya kok. :) Yakin kampus kamu saklek dan cuma punya satu alur? Kalau iya, buat apa beliau para petinggi kampus memberikan sederet pilihan kegiatan organisasi, penelitian, pengabdian masyarakat kalau bukan kamu sendiri yang suruh milih? :)
Iya, saya termasuk dari yang memilih zona nyaman, cuma ngeBEM sebagai satu-satunya kegiatan saya. Saya memang suka banget di sana, saya nemu keluarga kedua. Tapi kalau balik lagi dilihat "Who am I?" saya ketika awal masuk kuliah, ternyata saya nggak cuma harus ngeBEM untuk mencapainya. :) Bukan saya nggak bersyukur, atau bahkan menyesal. Nggak teman-teman. Saya udah move on kok, ini juga sedang menjalani proses nggak enak buat jadi saya versi saya yang saya inginkan. :)
"Get out of the Box!" diambil dari Bill Turner's Blog |
Saya buka ini ke teman-teman, biar teman-teman tahu dari awal, bahwa mewujudkan "Who am I?" itu nggak selalu mudah, banyak nggak mudahnya malah. Setelah ini saya harap, ketika kita ketemu hal yang nggak gampang, ubah rencana kita, bukan goalnya. Bukan tujuannya. Pemain bola juga meskipun tahu ada sederet pertahanan lawan buat mencegah dia mencetak goal, terus maju cari celah kan? Bukan trus balik arah nge-goal-in di gawang sendiri? :)
Gitu yaa? Jadi jangan membatasi diri temen-temen. Sayang itu sama masa depan. Jangan sayang sama diri sendiri sekarang. :)
4. Tentang IP tinggi.
"Kuliah itu bukan cari nilai, tapi cari ilmu."
Hati-hati sama quote di atas teman-teman. :)
Setelah bisa mendefinisikan "Who Am I?" versi kalian, harusnya kalian udah tahu, berapa IP yang dibutuhkan untuk mencapainya. :) Jangan biarkan IP yang menentukan jalan yang bisa kalian pilih ketika lulus. Kadang, bahkan sering mahasiswa gagal mendefinisikan "Who Am I?" ketika kuliah. Ada yang gagal tapi punya IP bagus, jadi ketika kelulusan itu datang, tuntutan untuk segera menentukan jalan itu datang, dia masih punya sederet pilihan. Tapi kalau yang ternyata IP pas-pasan? Atau bahkan nggak cukup? Masa mau balikin ijazah ke rektor trus bilang mo ngulang kuliah? :)
Kuliah memang bukan cari nilai, tapi mau nggak mau kita harus terima kenyataan nilai dalam bentuk IP itulah yang jadi tiket kita lolos administrasi kerja atau beasiswa. Nilai juga lah yang dilihat sama orang tua kita yang udah nyekolahin kita. :) Kalau yang kuliahnya sama kayak jurusan orang tua mungkin enak, bisa jelasin alasan teknis kenapa nilai kita kurang memuaskan. Tapi yakin orang tua juga bakal ngelolosin gitu aja dengerin alasan kita? Apalagi bagi yang orang tuanya nggak sama kuliahnya, atau bahkan mungkin nggak kuliah. Kita mau bilang apa sama hasil yang kurang memuaskan itu? :)
Boleh bilang kalau kemampuan kita cuma segitu setelah berusaha halal yaa temen-temen. :) Tapi kalau porsi waktu main game nya masih lebih banyak daripada porsi buat ngerjain tugas itu...yah, silahkeun jawab sendiri yak. :)
Kalau organisasi gimana? Saya yang ngalamin organisasi tiga tahun, suka manfaatin jatah 25% bolos buat kegiatan organisasi juga, masih sempet punya waktu tidur 6-8 jam per hari kok. Nah kan? Tahu kenapa IP saya pas-pasan? Di luar momen kuliah dan ujian, selain saya organisasi, waktu itu saya alokasikan untuk salah satu kegiatan enak yang diam-diam adalah pencuri impian. :) Iya pencuri impian, bikin kita males bangun dan menikmati impian itu di alam bawah sadar, bukan di alam realita. :)
Waktu saya profesi, saya lepas dari kegiatan organisasi. Dan ehm, bisa kok dapet IP cumlaude hanya dengan dua kali ujian. Masih agak malu-maluin sih sebenernya, ujian berkali-kali kok bangga. Remedial berkali-kali kok bangga. :) Remedial itu, meskipun nampaknya kebaikan hati dari kampus, diam-diam adalah pencuri mental pejuang kita. Karena remedial menyediakan kata "NANTI". :)
Berarti nggak usah organisasi dong Kak kalau pengen cumlaude? Yaa nggak gitu juga. Saya pas profesi bisa cumlaude karena waktu organisasi saya, saya pake buat belajar dan ngerjain tugas yang lebih bejibun daripada waktu S-1. Waktu tidur? Teteuuuup! Hehehe. Duh, saya bukan mahasiswa teladan banget kan? Jadi pokoknya intinya, kalau yang nggak organisasi dan IP masih pas-pasan karena usaha yang kurang, RUGI. Udah itu aja kesimpulannya. :)
Kalau yang udah usaha tapi tetep pas-pasan atau kurang? Nah, justru itu kalian harus cari kelebihan kalian di bidang lain. Pasti ada. Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan kelebihan dan kekurangan kok. Nggak cuma kekurangan doang. :) Minimal, meskipun IP tetep kurang atau pas-pasan setelah berusaha maksimal, kalian sudah belajar bagaimana memperjuangkan sesuatu itu kadang nggak selamanya berhasil. Bisa juga gagal. Dan gagal bukan berarti kalian harus berhenti dan menyerah. Masih banyak versi "Who Am I?" yang nggak perlu IP tinggi yang bisa diperjuangkan. :)
Jadi, nggak ada lagi yaa alasan "Kuliah itu bukan cari nilai, tapi cari ilmu.". Yang masih bilang begitu, harusnya sih kalau IPnya pas-pasan gampang dapet kerja atau tetep bisa sukses berwirausaha. Karena itu menunjukkan kalian kuliah beneran dapet ilmu, ilmu selain kuliah, yang nggak bisa ternilai oleh kampus. :)
Duh, panjang kali yak surat ini? :D
Haha. Nggak papa yaa temen-temen, masih lebih praktis kan dari pada baca buku? :p
Pokoknya intinya, semua cerita kegagalan saya yang saya buka ini, adalah pembelajaran buat temen-temen. Jangan sampai kayak saya. Apalagi sekarang kuliah makin mahal. Yang punya prinsip "Luluslah di waktu yang tepat, bukan tepat waktu." sekarang juga dikasih batas ama pemerintah. Kesel? Ya protes sono. Aksi kek. Nulis kek. Jangan diem aja. Mahasiswa kok diem aja. Mahasiswa pemalu yaa? Okee baiklah. :) Berarti sekarang solusinya adalah memanfaatkan waktu yang terbatas itu buat mewujudkan "Who Am I?" versi terbaik kalian. :)
Gitu yaa, teman-teman? :) Percayalah pada pilihan kalian. Saya juga pernah nulis tentang pilihan di sini. Intinya yakin aja sama pilihan kalian dan kalau nemu tantangan dan mentok, ubahlah cara kalian, cari jalan lain. Jangan ubah tujuannya. Insyaa Allah pasti sampai kok. :)
Enough for now, and see ya! :)
Purbalingga, 6 Maret 2015
Sekar Tyas Hutami
Mantan mahasiswa S-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar