Minggu, 09 Februari 2020

Apoteker Beretika


Bismillah..

Sebenernya saya grogi buat nulis lagi, karena kalau udah mulai nulis, berarti harus siap bertanggung jawab atas tulisan yg dipost. Sedangkan saya orangnya masih emosian, gak pinter banget juga soal kefarmasian. Tapi yah, daripada sedihnya dipendam, mari coba disampaikan.

Jadi, salam kenaaaal! Saya Ami/Sekar, dulu pernah jadi demonstran, lulus, trus kerja jadi ajudan, dan sekarang pindah ngurusin anggaran. Saya berbicara bukan atas nama instansi, meskipun pendapat saya pasti akan banyak dipengaruhi oleh pengalaman selama kerja di sini.

Belakangan sedih juga melihat apa yang tengah terjadi di sekitar saya. Bukan karena PMK 3, bukan juga karena SIAP yang berbayar. Saya sedih melihat cara protes teman-teman sejawat yang cenderung frontal, dan tidak seperti apoteker seharusnya. Kita kan dulu belajar bedah kasus ya, kalau nggak salah sih di matkul Farmakoterapi. Dulu juga pernah diajarin berpikir kritis menganalisis masalah waktu di BEM. Seinget saya, advokasi itu ada tahapannya, nggak langsung turun ke jalan. Ada proses kajiannya, setelah itu ada proses hearing dengan pemegang kebijakan, kalau nggak didengarkan juga, baru turun ke jalan.

Sama kan ya kayak kita mau nanganin pasien, dilihat dulu penyebab utamanya apa, penyakit penyertanya apa, kalau dikasih intervensi ini ada efek sampingnya nggak, ada kemungkinan interaksi obat atau enggak, cara ngasih obatnya gimana biar sesuai dengan kondisi pasien, dst.  See? Sejak kuliah kita udah diajarin buat kritis dan berhati-hati kalau mau mengambil tindakan. Begitu pula dalam bersikap. Misal mau ikutan protes soal PMK 3, tahu nggak kenapanya? Kalau masih belum terima alasannya, sudah coba disampaikan seharusnya gimana?

Saya cukup bisa memahami perasaan teman-teman  yang gak terima, rame di media sosial, sampe ada yang demo. Tapi sebelum ikut demo, sudahkah memastikan kita tahu apa yang disuarakan? Sudah tahu langkah apa yang sudah ditempuh dan tindak lanjutnya? Dulu saya pernah jadi demonstran, lalu kerja jadi ajudan. Berada di dalam lingkaran tempat dibentuknya kebijakan membuat saya mengerti, mengubah kebijakan itu butuh proses. Saya juga jadi dipaksa berkaca dulu, sebelum protes, saya bisa melakukan apa ya? Birokrasi kita lambat? Mungkin iya, tapi tidak berarti tidak dikerjakan juga. Sampaikan dengan baik dan bertanggung jawab, kawal. Proses mengawal ini lho yang kadang kita lupa.

Saya pernah coba bertanya, kenapa tidak kunjung ada UU Kefarmasian? Dijelaskanlah oleh atasan saya waktu itu, apa perbedaan UU dan PP, beserta konsekuensi hukum yang turut serta. Setelah itu jadi ingin belajar hukum dan tata negara yang benar itu seperti apa. Belum kesampaian belajar hukum dan tata negara, sekarang pindah ngurusin anggaran. Trus jadi penasaran juga, “Gimana caranya uang segini bisa menghasilkan manfaat sebanyak-banyaknya buat rakyat, tapi juga bisa diukur nilai manfaatnya?”.

Nah kalau untuk menjalankan pemerintahan aja butuh uang, nggak mungkin kan ya ada sistem informasi yang berjalan begitu saja tanpa butuh biaya? Google gratis? Kelihatannya aja gratis, tapi mungkin kita yang nggak tahu sistem mereka dapet duit gimana.

Kalau mau mengkritisi yang berbayar, pastikan saja yang dibayar itu transparan, jelas, dan ada laporan keuangan. Kalau minta sistem informasi itu gratis, nanti didemo sama orang IT lho. Dikira kita nggak menghargai kerja dan skill mereka. Kita aja sedih kan, kalo kerja nggak dibayar?

Oleh karena itu, saya ingin mengajak teman-teman apoteker yang masih muda, ayolah. Saya yakin apoteker itu pada dasarnya kritis dan beretika. Jika ada yang perlu dibicarakan, ada jalannya, ada cara yang baik dan beretika. Jangan mentah-mentah menerima propaganda. We’re more than that.

Ayo kritis dan beretika sama-sama. 😊

Jumat, 06 Maret 2015

Surat Terbuka untuk Adik-adikku Mahasiswa Strata Satu

"Karena kesalahan orang lain bisa kita jadikan pelajaran untuk mencegah kita mengalami hal yang sama."

Sekarang kan lagi jaman nih bikin surat terbuka. Saya pengen ikut-ikutan ah, pengen bikin surat buat adek-adek saya yang masih mahasiswa S-1. :) Bukan gagal move on, hanya pemikiran ini memang baru muncul setelah saya lulus dan belum tahu kapan lagi merasakan status mahasiswa yang super enak itu. :)

Ini juga merupakan tulisan yang saya harap akan mencegah kalian mengalami hal nggak enak yang saya alami.
Diambil dari FB Page d'BCN, tempat saya menempa diri sekarang
Teman-teman mahasiswa, saya tidak tahu apakah kalian juga merasakan hal yang sama seperti saya dulu. Ketahuilah, saya bukan penyandang titel mahasiswa berprestasi atau teladan. Saya juga tidak punya sederet prestasi membanggakan di bidang akademik, kecuali Indeks Prestasi Kumulatif, yang itu pun pas-pas an mepet batas minimum angka yang membukakan jalan untuk S-2 atau kerja. Saya juga bukan penggiat aktivitas sosial yang ulet dan rajin membantu masyarakat. Saya hanya mahasiswa yang merasa salah jurusan, yang senang sekali memanfaatkan jatah 25% bolos yang dihalalkan untuk hal-hal yang kadang penting, kadang juga tidak. :)
Tapi saya merasakan hal-hal ini dulu,

  1. Males kuliah pagi, karena kasur sangat nyaman di pagi hari.
  2. Males dengerin dosen ngomong, karena ngantuk, merasa punya sederet cerita seru yang ingin dibagikan kepada teman sebelah bangku karena metode dosen yang membosankan dalam menyampaikan ilmu.
  3. Sering membatasi diri, meskipun saya ngeBEM, tapi sedikit sekali waktu dan effort yang saya berkenan luangkan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi untuk memperoleh prestasi.
  4. Sering menjadikan slogan, "Kuliah itu cari ilmu, bukan cari nilai." sebagai alasan buat nggak ngejar IP tinggi.

Adakah yang merasakan hal-hal tersebut juga? Kalau iya, nih saya coba kasih sudut pandang lain biar kalian nggak jadi kayak saya yang nggak punya apa-apa. :)


1. Tentang males kuliah pagi


Setelah kita kuliah, terutama yang ngekos, entah kenapa kuliah pagi menjadi hal yang cukup berat buat kita. Padahal dua belas tahun kita sekolah SD-SMP-SMA juga masuk sekolah jam 7 kan? Lah kok ini yang cuma kita jalanin 4-5 tahun aja bisa berubah yaa kebiasaan kita? Bahkan sejak semester pertama! :p
Well, kalau nyari alasannya mah bakal bejibun. Kagak ada habisnya. Tapi coba deh, yuk cari solusi, atau sudut pandang lain seperti kata bang Fahd Pahdepie.
"Mungkin kita tidak bisa mengubah masalah yang kita hadapi. Tetapi kita bisa mengubah cara pandang kita dalam melihat masalah itu." (Fahd Pahdepie)
Coba deh kita list, apa aja sih hal positif yang kita dapet ketika bangun pagi dan ikut kuliah pagi tanpa telat? Banyak lho, mulai dari sholat subuh yang nggak kesiangan dan buru-buru, sempet mandi (meskipun sebenernya nggak mandi juga sah-sah aja sih buat kuliah, :p), sempet sarapan, sempet menyapa Pak Satpam di parkiran, sempet milih parkiran dibawah atep biar nggak keujanan, sempet milih tempat duduk yang enak buat enak ngobrol, sempet bergosip ria bersilaturahmi sama temen-temen di luar lingkaran temen sebelahan tempat duduk sebelum kuliah, sempet ngerjain tugas kalo kelupaan (:p), dan lain-lain.  Tuh kan, banyak? :)
Jadi, siap mencintai kuliah pagi? :)

2. Tentang males dengerin dosen ngomong.


Dosen itu kan ada yaa yang peduli banget sama soal ngomong sendiri ada yang cuek. Dan sebenernya kita sadar banget kan kalau itu salah. Meskipun kadang dosen yang ngebosenin kita jadikan alasan buat tidak mendengarkan beliau. Namun, sadarkah teman-teman, ada pembelajaran lain yang lebih dari sekedar itu adalah momen kita untuk mendapatkan ilmu dari beliau?
Diambil dari Megan's Blog
Iya. Pembelajaran tentang mendengar teman-teman. Belajar berkenan mendengarkan orang lain, semembosankan apapun itu. Kemampuan mendengarkan ini penting buat kita setelah kita lulus nanti, terutama yang akan bekerja di sektor pelayanan publik. Gimana kita mendengarkan dengan sabar hal-hal yang nggak ingin kita dengarkan dari konsumen? Kapan coba belajarnya? Nunggu waktu kerja? Yakin langsung bisa sabar dan nggak ngeluh? Yakin bakal memilih bertahan di sektor tersebut dan bukan ketika ada penawaran lain kerjaan di belakang meja yang nggak melayani orang akan langsung kita samber? Wohoo.
Kerja di belakang meja atau non pelayanan juga perlu lho skill mendengarkan. :) Mendengarkan teguran si bos dengan lapang dada misalnya? :) Kalau jadi bos? Emang nggak perlu mendengarkan saran atau keluhan staf kalian? Iya keluhan juga. Daripada dia nggak pernah kita dengarkan terus malah ngember ke luar perusahaan? :) Pilih mana?
Saya juga baru nyadar hal ini setelah lulus sayangnya. Saya memang pernah belajar tentang bagaimana mendengarkan orang lain ketika ngeBEM. Tapi ngeBEM itu pun masih termasuk kondisi pilihan saya, dimana saya berkenan mendengarkan demi sesuatu yang saya suka. :) Bukan beneran menerima kondisi apapun yang ada di hadapan saya.
Dan kalau dipikir-pikir, mendengarkan itu ibadah lho teman-teman. :) Bikin dosen seneng kalau kita anteng, nggak ngomong sendiri, itu ibadah kan? Meskipun setelahnya mungkin kita masih perlu belajar dari sumber lain kalau ternyata kita diem nggak mudeng dan nggak berani nanya. :)

3. Tentang membatasi diri.


Saya kuliah di Farmasi yang memerlukan kuliah profesi setelah menyelesaikan S-1. Dan percaya nggak percaya, ini keluhan yang sering saya denger dari teman-teman saya ketika profesi, ketika mulai belajar bikin CV.
"Ya ampun, aku baru sadar kalau aku nggak punya apa-apa buat ditulis di CV selain data pribadi."

Saya? Saya lumayan sih ada pengalaman ngeBEM. Tapi, diem-diem saya juga nelangsa dalam hati, karena kolom prestasi tidak bisa saya isi. :')

Sedih nggak sih? Apalagi kalau yang nggak pakai kuliah profesi. Kebayang nggak? Selesai skripsi, trus wisuda, trus tiba-tiba harus segera cari kerja, bikin CV, dan ternyata nggak ada hal lain yang bisa diisi selain data diri. :)

Yaaah, bukan berarti kalian terus harus berorganisasi sih temen-temen. Saya juga anti banget dibilang berorganisasi cuma buat manjangin CV. It's a big NO for me. Tapi di sini, coba deh dari awal kuliah, definisikan temen-temen pengen dipandang seperti apa. Pengen dikenal sebagai apa oleh orang lain.

"Ah, saya mah mau jadi mahasiswa biasa-biasa aja."

Yakin? Masih mau bilang kalau kalian adalah mahasiswa biasa-biasa aja di depan interviewer besok? Nggak pengin kelihatan punya nilai lebih gitu, di antara ribuan pelamar yang lain?

Mau wirausaha kak. Oke. Boleh banget. Bagus malah. Tapi percayalah, saya yang baru membangun bisnis dua tahun terakhir di masa kuliah saya, itupun uring-uringan, membangun bisnis itu jauh lebih "mudah" ketika masih mahasiswa. Soalnya kalau gagal, masih punya orang tua tempat berlabuh ketika gagal dan nggak punya apa-apa. Soalnya bisnis itu nggak ada yang gampang, pasti ngalamin yang namanya naik turun. Bahkan di awal biasanya turun mulu sebelum akhirnya kita menemukan titik dimana kita bisa melesat naik. Kalau udah lulus? Nggak banyak orang tua yang sabar melihat anaknya membangun bisnis, terutama yang beliau juga nggak bisnis alias kerja kantoran. Dan kadang itu juga bikin kita menyerah pada keadaan dan merelakan diri ini menjadi karyawan dan membangun impian bos kita. :)

Jadi, balik lagi tentang mendefinisikan diri kita, pengen dikenal sebagai apa. "Who am I?". Materi ini pasti sering banget disampein di ospek. Tapi banyak dari kita yang membuatnya sekedar sebagai tugas ospek dan melupakannya begitu saja. Atau ada yang sungguh-sungguh tapi ketika menghadapi kenyataan untuk mewujudkan "Who am I?" yang dia tulis itu susah, dia langsung menyerah. Mengubah alur rencana, dan memutuskan berubah untuk mengalir saja mengikuti aliran. Alirannya kemana? Auk deh. Tenang aja, fakultas udah punya alur yang disiapkan buat mahasiswanya kok. :) Yakin kampus kamu saklek dan cuma punya satu alur? Kalau iya, buat apa beliau para petinggi kampus memberikan sederet pilihan kegiatan organisasi, penelitian, pengabdian masyarakat kalau bukan kamu sendiri yang suruh milih? :)

Iya, saya termasuk dari yang memilih zona nyaman, cuma ngeBEM sebagai satu-satunya kegiatan saya. Saya memang suka banget di sana, saya nemu keluarga kedua. Tapi kalau balik lagi dilihat "Who am I?" saya ketika awal masuk kuliah, ternyata saya nggak cuma harus ngeBEM untuk mencapainya. :) Bukan saya nggak bersyukur, atau bahkan menyesal. Nggak teman-teman. Saya udah move on kok, ini juga sedang menjalani proses nggak enak buat jadi saya versi saya yang saya inginkan. :)
"Get out of the Box!" diambil dari Bill Turner's Blog
Saya buka ini ke teman-teman, biar teman-teman tahu dari awal, bahwa mewujudkan "Who am I?" itu nggak selalu mudah, banyak nggak mudahnya malah. Setelah ini saya harap, ketika kita ketemu hal yang nggak gampang, ubah rencana kita, bukan goalnya. Bukan tujuannya. Pemain bola juga meskipun tahu ada sederet pertahanan lawan buat mencegah dia mencetak goal, terus maju cari celah kan? Bukan trus balik arah nge-goal-in di gawang sendiri? :)
Gitu yaa? Jadi jangan membatasi diri temen-temen. Sayang itu sama masa depan. Jangan sayang sama diri sendiri sekarang. :)

4. Tentang IP tinggi.

"Kuliah itu bukan cari nilai, tapi cari ilmu."
Hati-hati sama quote di atas teman-teman. :)

Setelah bisa mendefinisikan "Who Am I?" versi kalian, harusnya kalian udah tahu, berapa IP yang dibutuhkan untuk mencapainya. :) Jangan biarkan IP yang menentukan jalan yang bisa kalian pilih ketika lulus. Kadang, bahkan sering mahasiswa gagal mendefinisikan "Who Am I?" ketika kuliah. Ada yang gagal tapi punya IP bagus, jadi ketika kelulusan itu datang, tuntutan untuk segera menentukan jalan itu datang, dia masih punya sederet pilihan. Tapi kalau yang ternyata IP pas-pasan? Atau bahkan nggak cukup? Masa mau balikin ijazah ke rektor trus bilang mo ngulang kuliah? :)

Kuliah memang bukan cari nilai, tapi mau nggak mau kita harus terima kenyataan nilai dalam bentuk IP itulah yang jadi tiket kita lolos administrasi kerja atau beasiswa. Nilai juga lah yang dilihat sama orang tua kita yang udah nyekolahin kita. :) Kalau yang kuliahnya sama kayak jurusan orang tua mungkin enak, bisa jelasin alasan teknis kenapa nilai kita kurang memuaskan. Tapi yakin orang tua juga bakal ngelolosin gitu aja dengerin alasan kita? Apalagi bagi yang orang tuanya nggak sama kuliahnya, atau bahkan mungkin nggak kuliah. Kita mau bilang apa sama hasil yang kurang memuaskan itu? :)

Boleh bilang kalau kemampuan kita cuma segitu setelah berusaha halal yaa temen-temen. :) Tapi kalau porsi waktu main game nya masih lebih banyak daripada porsi buat ngerjain tugas itu...yah, silahkeun jawab sendiri yak. :)

Kalau organisasi gimana? Saya yang ngalamin organisasi tiga tahun, suka manfaatin jatah 25% bolos buat kegiatan organisasi juga, masih sempet punya waktu tidur 6-8 jam per hari kok. Nah kan? Tahu kenapa IP saya pas-pasan? Di luar momen kuliah dan ujian, selain saya organisasi, waktu itu saya alokasikan untuk salah satu kegiatan enak yang diam-diam adalah pencuri impian. :) Iya pencuri impian, bikin kita males bangun dan menikmati impian itu di alam bawah sadar, bukan di alam realita. :)

Waktu saya profesi, saya lepas dari kegiatan organisasi. Dan ehm, bisa kok dapet IP cumlaude hanya dengan dua kali ujian. Masih agak malu-maluin sih sebenernya, ujian berkali-kali kok bangga. Remedial berkali-kali kok bangga. :) Remedial itu, meskipun nampaknya kebaikan hati dari kampus, diam-diam adalah pencuri mental pejuang kita. Karena remedial menyediakan kata "NANTI". :)

Berarti nggak usah organisasi dong Kak kalau pengen cumlaude? Yaa nggak gitu juga. Saya pas profesi bisa cumlaude karena waktu organisasi saya, saya pake buat belajar dan ngerjain tugas yang lebih bejibun daripada waktu S-1. Waktu tidur? Teteuuuup! Hehehe. Duh, saya bukan mahasiswa teladan banget kan? Jadi pokoknya intinya, kalau yang nggak organisasi dan IP masih pas-pasan karena usaha yang kurang, RUGI. Udah itu aja kesimpulannya. :)
Kalau yang udah usaha tapi tetep pas-pasan atau kurang? Nah, justru itu kalian harus cari kelebihan kalian di bidang lain. Pasti ada. Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan kelebihan dan kekurangan kok. Nggak cuma kekurangan doang. :) Minimal, meskipun IP tetep kurang atau pas-pasan setelah berusaha maksimal, kalian sudah belajar bagaimana memperjuangkan sesuatu itu kadang nggak selamanya berhasil. Bisa juga gagal. Dan gagal bukan berarti kalian harus berhenti dan menyerah. Masih banyak versi "Who Am I?" yang nggak perlu IP tinggi yang bisa diperjuangkan. :)
Jadi, nggak ada lagi yaa alasan "Kuliah itu bukan cari nilai, tapi cari ilmu.". Yang masih bilang begitu, harusnya sih kalau IPnya pas-pasan gampang dapet kerja atau tetep bisa sukses berwirausaha. Karena itu menunjukkan kalian kuliah beneran dapet ilmu, ilmu selain kuliah, yang nggak bisa ternilai oleh kampus. :)

Duh, panjang kali yak surat ini? :D
Haha. Nggak papa yaa temen-temen, masih lebih praktis kan dari pada baca buku? :p
Pokoknya intinya, semua cerita kegagalan saya yang saya buka ini, adalah pembelajaran buat temen-temen. Jangan sampai kayak saya. Apalagi sekarang kuliah makin mahal. Yang punya prinsip "Luluslah di waktu yang tepat, bukan tepat waktu." sekarang juga dikasih batas ama pemerintah. Kesel? Ya protes sono. Aksi kek. Nulis kek. Jangan diem aja. Mahasiswa kok diem aja. Mahasiswa pemalu yaa? Okee baiklah. :) Berarti sekarang solusinya adalah memanfaatkan waktu yang terbatas itu buat mewujudkan "Who Am I?" versi terbaik kalian. :)
Gitu yaa, teman-teman? :) Percayalah pada pilihan kalian. Saya juga pernah nulis tentang pilihan di sini. Intinya yakin aja sama pilihan kalian dan kalau nemu tantangan dan mentok, ubahlah cara kalian, cari jalan lain. Jangan ubah tujuannya. Insyaa Allah pasti sampai kok. :)

Enough for now, and see ya! :)

Purbalingga, 6 Maret 2015
Sekar Tyas Hutami

Mantan mahasiswa S-1

Jumat, 13 Februari 2015

Percaya pada Sebuah Pilihan

Sebenernya udah kepengin nulis tentang ini, tentang percaya pada sebuah pilihan yang kita buat, sejak tahu tanggal 13 Februari 2015 adalah tanggal dibukanya pendaftaran SNMPTN. Ya, hari ini adik saya akan ikut serta dalam seleksi tahunan yang diselenggarakan pemerintah untuk para lulusan SMA yang ingin meneruskan pendidikan tinggi. Tulisan ini saya dedikasikan untuknya, Bias Imani, sebagai hadiah awal dia berani memutuskan satu pilihan yang akan ia perjuangkan. Tulisan ini juga merupakan pengingat bagiku kelak, ketika saya mungkin menghadapi konsekuensi dari pilihan yang saya buat hari ini.

Saya tidak pernah mengenal Law of Attraction hingga usia 22 tahun. Saya juga tidak pernah belajar mengenai kekuatan sebuah visualisasi mimpi. Selama ini yang saya kenal adalah kekuatan sebuah doa, doa kepada Allah yang dipanjatkan sungguh-sungguh oleh seorang hamba, terutama doa orang tua. Segala pencapaian saya selama ini, lulus menjadi salah satu mahasiswa Farmasi UGM, berhasil menyelesaikan studi S1 sesuai harapan orang tua, lulus ujian komprehensif apoteker dengan nilai yang memuaskan, bahkan diterima di Kementerian Kesehatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, saya sangat menyadari bahwa itu semua hasil doa Ibu, doa Bapak, doa semua orang-orang yang menyayangi saya. Saya pribadi sangat sadar akan diri saya yang kadang, eh sering, lebih sering malas daripada rajin. Lebih sering memilih organisasi dibandingkan kuliah. Lebih sering memilih tidur dan terburu-buru mengerjakan laporan praktikum pada waktu subuh daripada mengerjakan laporan begadangan. Lebih suka makan, bercengkerama dengan teman satu kosan, daripada menyentuh buku tebal atau handout kuliah untuk belajar menjelang ujian. Intinya, terkadang saya sendiri masih takjub, betapa orang pemalas seperti aku ini mencapai itu semua.
Awal tahun 2015 saya awali dengan sebuah webinar dari mbak Dini Shanti, upline di bisnis Oriflame. Pada webinar itu mbak Dini banyak menekankan tentang memberi rasa kepada hal yang kita impikan. Law of Attraction. Apa yang kita bayangkan, apa yang kita rasakan, itulah yang akan menjadi kenyataan. Webinar malam itu membuatku banyak merenung dan berpikir apa yang sudah saya dapatkan di masa lalu.

Mungkin sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika saya aktif di sebuah organisasi Palang Merah Remaja di SMA ku. Mentor saya pada waktu itu, Mas Wawan, pernah memberikan sebuah nasihat yang baru saya sadari betapa dalamnya nasihat tersebut sekarang. Beliau pernah mengatakan bahwa Allah mengikuti prasangka hamba-Nya. Maka hati-hati dengan doa, hati-hati dengan prasangka. Seringkali kita berdoa kepadaNya, tapi kita masih berprasangka kurang baik kepada Allah. "Mungkinkah Allah mengabulkan doaku?" "Ah, keinginanku terlalu muluk-muluk.", dan berbagai prasangka kurang baik lainnya. Padahal, Allah tidak pernah menjawab doa kita dengan hanya kata "Tidak". Tiga jawaban Allah atas doa kita, "Ya, baiklah Aku akan kabulkan doamu sekarang.". "Ya, itu baik untukmu, tapi ini bukan waktu yang tepat untukmu menerimanya.", atau "Tidak, itu tidak baik bagimu. Akan Ku berikan pengganti yang lebih baik untukmu.". Maka ketika doa kita belum juga terwujud, adakah doa kita benar baik untuk kita? Atau kita yang masih berprasangka kurang baik kepada Allah? Analogikan saja dengan meminta pada manusia. Ketika kita baru mengatakan "Hei, boleh aku minta sebagian makananmu?" tapi belum sampai dia menjawab kita sudah melanjutkan lagi dengan "Ah, nggak jadi deh. Kamu pasti nggak mau ngasih.", dia pasti akan cenderung malas untuk jadi membagi makanannya bukan? Belum apa-apa sudah dijustifikasi bahwa dia tidak akan memberikannya.
Mundur lagi, sekitar delapan tahun yang lalu. Masa dimana saya baru masuk SMA. Pada waktu itu, kakak sepupu tertua saya, yang sudah saya anggap seperti saudara kandung, juga baru memulai perjalanannya untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada. Saya yang sedari kecil diam-diam selalu menjadikannya panutan, langsung menuliskan "UGM" di sebuah kertas, lalu saya tempel di lemari pakaian saya. Sayang saya tidak pernah mendokumentasikannya. Lemari itu juga sudah beralih kepemilikan sekarang. Tapi saya ingat, pada waktu itu, saya sama sekali belum menentukan ingin kuliah dimana, apalagi pertimbangan-pertimbangan semacam UGM adalah universitas negeri yang biaya kuliahnya lebih murah daripada swasta, UGM terletak di Jogja yang sangat nyaman dan membuat setiap orang yang ke sana jatuh cinta karena keistimewaannya. Tidak, tidak ada pertimbangan seperti itu. Saya hanya ingin mengikuti jejak kakak saya. Titik.
Saya sendiri tidak menduga, pilihan saya dua tahun setelahnya adalah Farmasi. Jika melihat coret-coretku di buku agenda ketika kelas 2 SMA, saya masih menginginkan jurusan Psikologi. Tapi lagi-lagi, berhubung saya ini pemalas, ketika dipaksa masuk IPA oleh Bapak, yang harusnya saya tetep belajar IPS demi bisa kuliah Psikologi, MANA ADA??? Hahaha. Pilihan farmasi hinggap begitu saja dibenak saya ketika awal kelas 3. Agak ajaib juga sih sebenernya, soalnya pas kelas 3 itu tiba-tiba berasa yakin aja sama Farmasi. Wallahu'alam pokoknya.

And that's how it happened. Saking mantepnya sama Farmasi UGM, pas Ibuk nawarin masukin jurusan teknologi pangan mengingat saya suka sekali makan, sebagai pilihan kedua saya tetep nggak mau. Eh, Bapak sih yang keukeuh nggak boleh. "Kalau nggak mantep, nggak usah dimasukin. Daripada ntar kamu ketrima di pilihan kedua, trus nggak kamu ambil. Kamu berarti udah menutup kesempatan satu orang yang mungkin lebih butuh kursi itu daripada kamu." begitu kata Bapak waktu itu. Ya sudah, jadilah saya menjadikan Farmasi sebagai satu-satunya pilihan pada saat saya mendaftar UM UGM. "Nggak punya cadangan kamu Mi?". Punya dong, saya waktu itu juga daftar UNSOED dengan pilihan pertama Akuntansi, pilihan kedua kalo nggak salah Teknologi Pangan, pilihan ketiga baru Farmasi. Kenapa akhirnya berani ambil IPC? Karena katanya di UNSOED itu yang bagus akuntansinya, saya mah daftar UNSOED agak agak sombong waktu itu, hehe. Pokoknya kalau suruh kuliah di UNSOED, saya harus di jurusan yang paling bagus. Berasa pinter aja gitu selama ini. Padahal...hehehe. Dan Alhamdulillah saya nggak diterima di UNSOED. Jadi saya nggak ngambil kursi siapapun yang pengen kuliah di sana. Hehehe.
Oke, lanjut. Setelah mantep cuma milih Farmasi UGM ketika daftar UM UGM, waktu daftar ke warnet Bapak saya sampe telpon, kasih ultimatum pokoknya ngga usah tergoda masukin pilihan kedua ketiga kalo nggak yakin. Saya fokus doa dan ikhtiar buat ke sana. Em, banyakan mananya saya lupa. Soalnya kadang masih males "minta sama Allah" dan males belajar waktu itu (*ups). Soalnya saya yakin banget waktu itu, yakin dan percaya. Ibu, Bapak, Mbah Putri, Yangti udah doain saya siang malam. Belajar? Yaaaah. Istirahat 2 jam 30 menit setelah belajar 1 jam wajar kan? Oke, yang barusan ini ngga boleh dicontoh. Balik lagi soal percaya pada sebuah pilihan.
Pada waktu itu, saya emang udah mantep banget sama Farmasi. Lagi-lagi, entah kenapa. Yang jelas, kata Bapak, selama kamu meminta petunjuk bener-bener sama Allah, MINTA PETUNJUK yaa bukan sekedar pengin pengin nggak jelas, Insyaa Allah itu jalannya. Alhamdulillah, Allah berikan apa yang saya yakini sebagai pilihan saya satu-satunya. Meskipun pake acara ada drama nangis abis pulang dari UM karena pas dicocokin sama kunci jawaban di koran KR sama nyocokin jawaban punya temen, jawaban saya banyak yang beda. Padahal kan yang pegang kunci yg bener tetep UGM yak?

And, fast forward. Saya kuliah di UGM, tempat yang saya impikan sejak Mas Sera, si kakak saya itu juga kuliah di sana. Meskipun dengan masa perkuliahan yang lumayan lama, 5 tahun (4 tahun S1 dan 1 tahun Profesi), Alhamdulillah. Sekarang saya bisa disebut sebagai seorang Apoteker. Lalu tibalah saya pada masa harus menentukan pilihan selanjutnya. Pilihan untuk langsung kerja dan mau kerja dimana, atau mau langsung ambil S2 dan mau S2 dimana, atau nikah dulu sebelum dua-duanya.
Sebagai anak tertua, yang dengan dudulnya ngga pernah punya tabungan cukup atau bisnis yang cukup stabil supaya dibolehin langsung S2 sama orang tua, pilihan saya akhirnya pada bekerja. Kerja dulu, S2 nanti kalau udah kerja, udah ngerasain lapangan. Karena keinginan jurusan S2 saya juga bukan farmasi. Kerja pun sama, saya nekat lagi dengan prinsip yang diajarin Bapak.
"Pilih mana yang diinginkan, minta petunjuk sama Allah, begitu dapet yang yakin mana, doa dengan spesifik apa yang kamu inginkan. Berdoa juga supaya dalam proses mendapatkan yang kamu inginkan, ngga menyakiti orang lain, ngga dzalim sama orang yang mungkin lebih butuh pekerjaan itu daripada kamu."
Sama seperti saat mau kuliah. :)

Pilihan saya jatuh pada dua tempat, Kementerian Kesehatan (Kemkes) atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK). Seleksi untuk dua tempat ini agak lebih lama daripada lowongan kerja lainnya. Meskipun sempet kepikiran nyambi di apotek dulu, sambil nunggu seleksi dua tempat ini dimulai, ujung-ujungnya saya ngga jadi nyambi di apotek. Alasan? Ngga enak kalau suatu saat harus ijin buat ikut proses seleksi dua tempat ini bilang aja males.
Setelah mengalami banyak hal pada proses seleksi Kemkes dan BPJSK, pada akhirnya saya dinyatakan tidak lolos seleksi tahap wawancara direksi  BPJSK. Pas pengumuman itu, saya sedang berada di Jakarta, dimana hari Sabtunya saya akan menjalani Tes Kompetensi Bidang (TKB) Kemkes sebagai seleksi tahap tiga. Dari awal sebenernya saya udah deg-degan, gimana kalau pengumuman BPJSK tiba-tiba keluar. Saya harus milih mana. Atau masih bisa ngga jalanin dua-duanya. Namun Allah berkehendak lain. Saya dinyatakan tidak lolos BPJSK. Padahal setelah tahap tersebut, hanya tersisa tes kesehatan dan OJT untuk akhirnya merasakan menjadi pegawai BPJSK.
Kecewa? Hmm, pada waktu keluar pengumuman, saya nggak terlalu mikirin itu sih. Karena saya harus segera move on, fokus belajar buat TKB hari Sabtu, 22 November 2014. Cuma jujur aja nih, setelah TKB, lalu pada masa menunggu pengumuman hasil akhir seleksi CPNS Kemkes yang memakan waktu dua bulan, saya sempat meragukan dan mengutuk diri saya sendiri. Perasaan minder, "Masa alumni BEM, yang suka bilang kalau softskill itu ngga bisa cuma dipelajari di dalam ruang kuliah, nggak lolos seleksi wawancara, dimana biasanya pengalaman organisasi dan softskill yang sangat menentukan di sana?". Minder, malu, takut adik-adik nggak mau mengembangkan diri di luar ruang kuliah, semua pikiran jelek itu ada di otak saya. Belum ditambah komentar-komentar nggak enak dari orang dekat, dikatain saya terlalu idealis lah cuma mau daftar dua tempat itu sebagai percobaan pertama, dikatain "Nyari apa siiiih di Jakarta? Harus Jakarta banget yaa? Kenapa nggak pulang Purbalingga aja?", dan serentetan komentar lain yang nggak enak didengar. Pokoknya mah yang negatif-negatif.
Diselingi perjalanan umroh, saya berusaha ngga hilang kepercayaan sama Allah. Saya berusaha buat yakin banget Allah selalu kasih yang terbaik buat saya. Sepulang umroh, saya bergegas balik ke Jogja demi menyendiri, biar kalau nggak diterima, nangis nangis sendiri aja gitu di kosan. Orang rumah ngga usah tahu. Tapi alhamdulillah, selama saya di Jogja, ketemu sama temen-temen kuliah, mulai jalanin Oriflame lagi, perasaan saya membaik. Apalagi setelah webinar dari mbak Dini Shanti waktu itu. Saya menemukan banyak jalan, banyak cara, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dan yang paling penting, mengembalikan prasangka baik saya kepada Allah. Masya Allah.
Dan setelah masa penantian 2 bulan, akhirnya pengumuman CPNS itu keluar. Alhamdulillah, saya dinyatakan lolos sebagai salah satu CPNS Kementerian Kesehatan, pada formasi Perencana Pertama, di satuan kerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Saya nggak bisa ngungkapin perasaan saya waktu itu.

Nah, balik lagi ke soal percaya pada sebuah pilihan. Kalau ditarik ke belakang lagi, jalan Allah buat saya, sebenernya udah sesuai dengan apa yang saya minta. Hanya saja, kadang manusia lupa, dengan apa yang telah dia minta. Saya share di sini bukan bermaksud sombong, tapi saya harap teman-teman yang membaca, dapat mengambil hikmah darinya.
Pada saat saya memutuskan untuk hanya mendaftar di dua instansi tersebut, saya sholat, saya minta petunjuk sama Allah, dari dua itu, mana yang paling baik untuk saya, mana yang harus saya yakini sebagai pilihan saya. Bukan tidak mungkin, pada perjalanannya, saya harus memilih salah satu meskipun belum pada posisi pasti diterima. Dan saya memang minta, kalaupun harus memilih, Allah saja yang memilihkan. Maksudnya ditolak aja gitu. Bukan saya yang memutuskan buat nggak dateng seleksi.
Keyakinan saya jatuh pada Kementerian Kesehatan. Ada beberapa pertimbangan yang lebih memberatkan hati saya ke sana, lebih dari sekedar pengen kerja di BPJSK sebagai pemenuhan rasa penasaran saya terhadap badan yang dipercaya pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional, mendapatkan gaji 8 juta sebulan, sekaligus membuktikan bahwa aktivis akan mendapatkan nilai lebih di mata pemberi kerja, supaya adik-adik saya di kampus tidak takut untuk beraktivitas organisasi di luar perkuliahan. Pertimbangan yang lebih dari itu yang tidak perlu saya ungkapkan di sini.
Ketika melihat tiga pertimbangan saya di BPJSK, sebenarnya ketika saya tertolak, saya diingatkan pada perkataan saya sendiri. Saat masih aktif, saya pernah mengatakan kepada adik-adik saya, "Jangan berorganisasi cuma buat manjangin CV. Cuma buat ngisi daftar riwayat organisasi dan kepanitiaan.". Maka sebenarnya tidak pantas, saya menyesali dan bahkan merasa minder ketika ditolak BPJSK karena merasa saya aktif berorganisasi. Niatan saya di organisasi dulu bukan itu.

Dan satu lagi, saya mencoba memvisualisasikan mimpi saya sesaat setelah saya lulus apoteker. Saya mikirnya waktu itu, ini merupakan permulaan babak baru dalam kehidupan saya. Saya ingin mengatur kembali tujuan hidup saya, impian-impian saya, dan mencoba metode visualisasi mimpi ini. Saya dapet ilmu ini sejak awal masuk kuliah, tapi dulu saya terlalu malas untuk membuatnya. Dan inilah apa yang saya tempel di buku impian saya, pada bagian karir atau pekerjaan,
Buku Impian, pada bagian karir atau pekerjaan.
Buku impian saya sekarang memang saya pindah, berhubung nemu buku sketsa lucu di Togamas. :p Foto ini saya ambil sebelum saya memindahnya ke buku yang baru. Jadi di buku ini memang belum saya tambahin tulisan. Saya mencetak gambar ini, dan menempelnya seperti ini sekitar bulan September. Saat saya sudah menentukan pilihan hanya akan mendaftar di Kemkes dan BPJSK. Kenapa ngga nempel logo BPJSK? :) Ya itu tadi. Pilihan saya sebenarnya telah jatuh pada satu tempat. Tapi sebagai manusia, tidak ada salahnya punya rencana cadangan kan? :)
Di halaman tersebut, saya tempel foto calon kantor saya, bendera Indonesia, dan foto alm. Yangtung. Kenapa ada alm. Yangtung? Karena selama ini, saya bertahan menjalani kuliah di farmasi, motivasi terbesar saya setelah orang tua adalah beliau. Pernah, sebelum beliau meninggal, beliau bilang kelak saya akan menjadi apoteker. Saya cuma cengengesan aja waktu itu. Nggak menyangka, ucapan beliau menjadi gelar dan sumpah yang melekat di hidup saya sekarang. Jadi maksudnya, karena udah terlanjur jadi apoteker, untuk mewujudkan keinginan saya buat mengabdi pada Indonesia itu yaa, salah satu jalannya di Kementerian Kesehatan, berhubung saya kurang sreg dengan kerjaan klinis maupun industri. Emang sukanya regulasi. :)

Dari dua kejadian dalam hidup saya di atas, tentang memilih kuliah di Farmasi UGM dan memilih menjadi PNS di Kementerian Kesehatan, saya merasa diajarkan sesuatu oleh Allah. Percaya pada pilihan yang kita ambil itu wajib, selama dalam proses memilih kita melibatkan Allah didalamnya. Dan untuk visualisasi mimpi, Law of Attraction, apapun itu namanya. Bukan percaya kepada kekuatan visualisasi sehingga impian kita terwujud. Namun dengan visualisasi mimpi, dengan merasakan apa yang kita impikan, dengan berusaha menerapkan Law of Attraction, kita sebenarnya sedang berusaha untuk terus berprasangka baik kepada Allah. Terwujudnya impian kita memang kuasa Allah, tapi selain bekerja keras untuk mewujudkannya, kita perlu meyakini bahwa Allah akan mengabulkan doa-doa kita. Sekali lagi, perlu berprasangka baik sama Allah. Kita perlu percaya pada pilihan yang telah kita buat. Sehingga ketika dalam proses mewujudkan impian tersebut, kita menikmatinya, menjalaninya dengan penuh energi positif, penuh prasangka baik kepada Allah, penuh keyakinan bahwa cobaan apapun yang terjadi adalah jalan dari Allah untuk memantaskan kita meraih impian. Dan ketika impian itu terwujud, kita tidak lupa, tidak alpa hanya menganggapnya hasil dari kerja keras kita. Karena Allah yang Maha Berkehendak atas semuanya. Masya Allah. :)

Dan untuk adikku, yang hari ini akan melakukan langkah pertama menuju impiannya, bismillah yaa Yas, Insyaa Allah. :)

Jika ada hikmah dan kebaikan yang bisa diambil, semua berasal dari Allah. Jika ada keburukan yang tidak sepatutnya dicontoh, itu berasal dari kelemahan saya sebagai manusia. :)