Senin, 19 Desember 2011

Passion


Passion. Satu kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk menemukan maknanya dalam kehidupan nyata. Aku mulai tertarik dengan satu kata ini sejak seorang alumni kampusku berpesan, " Temukan dimana passion kamu, karena hanya di situlah kamu akan selalu merasa nyaman. Bekerja, berwirausaha, apapun itu. Selama itu passion kamu, kamu akan bahagia menjalaninya. "

Pasca forum tersebut aku selalu merenungkan, dimana passionku. Passion merupakan salah satu kosa kata bahasa inggris yang artinya ketertarikan, gairah, panggilan jiwa. Maka aku memaknai passion adalah sesuatu yang membuat hati kita bergetar ketika mendengarnya, membuat gairah semangat meluap-luap ketika pembahasannya, dan mampu mengalihkan semua hal-hal menarik lainnya hanya untuknya.

Memilih Fakultas Farmasi UGM sebagai jenjang studi lanjutanku setelah SMA adalah keputusanku sendiri. Anjuran untuk mengambil sekolah keguruan aku tolak mentah-mentah. Ada juga keinginan kuat untuk mendaftar Psikologi UNPAD. Namun apa daya, ide yang terakhir ini tidak menemukan kata sepakat. Keputusanku diridloi oleh Allah, oleh orang tuaku, maka dari itulah aku berada di sini sekarang. Hanya saja saat masa-masa awal kuliah aku sempat merasa muak, malas, tidak tertarik sama sekali dengan mata kuliah yang disajikan. Padahal jauh-jauh hari sebelum diterima, karena kemajuan teknologi saat ini, aku sudah mendownload kurikulum Fakultas Farmasi UGM ini. Dan pada saat itu, pilihanku sangat mantap sekali di industri. Aku masih ingat, perasaan senang dan mataku yang berbinar ketika melihat daftar mata kuliah yang ditawarkan. Semuaaaanya kimia. :D

Seiring berjalannya waktu, hati ini memberontak. Entah karena sifat dasar malas pada diri manusia atau apa, tapi aku merasa lebih berminat, lebih bergairah untuk belajar berorganisasi, peduli amat sama KIMIA. Begitu pikirku. Maka jadilah aku berkembang di organisasi, tetapi akademikku sedikit keteteran. IPK ku masih di atas 3, hanya saja sangat mepet. Lalu ketika peminatan semester 4, aku sendiri mulai galau. Hasrat masuk dunia farmasi industri sudah hilang, tapi mengingat cita-cita awal sangatlah disayangkan. Aku takut perasaan ini hanya karena faktor ketidakmampuanku dalam bidang kimia organik. Hasrat lain, untuk memilih Farmasi Bahan Alam, lebih menggoda. Peluang yang besar dan idealisme yang kukuh untuk berkiprah di bidang ini, tetapi lagi-lagi terbentur dengan "rasa" yang waktu itu belum aku sadari sebagai passion. Aku tidak suka nge lab. Simple saja. Maka jatuhlah pilihanku pada ranah klinik dan komunitas meskipun aku memang lebih berat ke ranah komunitas, bukan klinik.

Semester 4-5 inilah aku merasa baru benar-benar menemukan passionku. Ada salah satu dosen yang ketika mengajar selalu menyinggung soal regulasi dan permasalahan sosial di masyarakat. Entah kenapa beliau selalu bisa saja mengemasnya dalam ilmu-ilmu eksak seperti Metodologi dan Desain Penelitian dan Farmakologi Klinik. Sangat terasa sekali, ketika beliau mulai bercerita tentang hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, regulasi, kebijakan, dan permasalahan sosial di masyarakat yang sangat praktis. Subhanallah, aku merasa jiwaku tergerak. Perhatianku teralihkan. Aku yang biasanya tidak tahan lama ketika mendengarkan dosen, merasa benar-benar ingin menyimak dan mencatat setiap kata yang beliau ucapkan.

Menengok kembali ke visi hidupku, yang tidak ingin terlalu muluk-muluk mengejar posisi atau jabatan di jajaran pemerintahan, agaknya passion yang aku pikir passionku untuk sekarang ini, sedikit tidak sesuai. Aku tidak ingin hidupku berfokus pada bidang regulasi atau pemerintahan, aku ingin fokus pada bidang pengabdian. Hanya saja nampaknya jalanku ke sana belum terbuka lebar, atau aku yang belum menengoknya yaa? Hehe…
Apapun itu, yang aku yakini saat ini adalah menjalani sebaik-baiknya yang tengah aku jalani. Passionku aku merasa sudah cukup jelas, MASYARAKAT. The Way? We will see… :)
" Kita gak akan pernah tahu passion kita dimana tepatnya jika kita tidak pernah mencoba hal-hal baru. " ( Rina Wahyuningsih, 2011 ).

Buat temen-temen yang masih merasa belum menemukan passionnya, ayok segera cari!!! Sebelum hidupmu terlalu tua untuk kau tangisi, sebelum status mahasiswa dan pemuda lepas dari badanmu… :)

Jumat, 09 Desember 2011

Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan sangat terlihat


Baru benar-benar membuktikan pepatah ini ketika umurku 19 tahun, padahal aku telah mendengarnya sejak umur 5 tahun. Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan sangat terlihat, aku agak lupa bagaimana pepatah ini persisnya berbunyi. Namun yang aku pahami selama ini, makna pepatah ini lebih ke sifat manusia yang kadang tidak bisa melihat kekurangannya diri sendiri, tetapi kekurangan orang lain, sekecil apapun itu sangatlah nampak nyata baginya.

Di usia ke-19 ini aku memahami makna pepatah itu tidak sesempit apa yang diajarkan guru SD ku waktu itu. Tidak hanya menyangkut sifat dengki manusia yang suka mencela kekurangan saudaranya sendiri, tetapi juga tentang bagaimana kita melihat sesuatu atau peluang.

Dua bulan yang lalu, aku diminta mas syaugi selaku SC acara UGM Social Enterpreneurship Challenge untuk membantu kepanitiaan di bagian acara E-Camp ( Enterpreneurship Camp ). Ketika aku menerima amanah itu, sempat timbul keraguan dalam diriku. Sosial enterpreneur ini masih merupakan hal baru di Indonesia. Maka ketika akan mengadakan pelatihan pun, pematerinya pun sulit untuk dicari yang benar-benar sudah expert. Jadilah aku menentukan pengisi acara E-Camp ini sedikit asal-asalan.

H-1, pembicara masih ada yang belum fix, dan mas syaugi menyarankan untuk menghubungi seorang pengusaha sukses, yang telah menjadi Rektor serta Profesor. Mas Syaugi bilang pembicara ini bisa jadi pamungkas E Camp ini, pembicara penutup yang bisa memberikan motivasi yang paripurna untuk para peserta, karena beliau bisa mengkolaborasikan enterpreneur, religi, pemuda, dan sosial. Dan ternyata, pembicara yang satu ini sangat dekat denganku! Bisa, sangat bisa, jika jauh-jauh hari aku telah menjalin silaturahmi yang intens dengan keluarganya. Karena istri beliau kenal denganku, bahkan pernah jalan-jalan bareng. Ya, istri beliau adalah sahabat baik budheku, dan waktu itu, ketika budhe ku main ke Jogja, aku diajak jalan bareng mereka. Tante Aini pernah menyuruhku untuk main ke rumahnya sesekali, tapi tidak terlalu aku perhatikan, karena merasa sungkan.

Singkat cerita, pembicara ini hanya berkenan dan bisa menjadi juri presentasi bisnis plan para peserta. Ah, sangat disayangkan sekali, mengingat aku pun punya peluang memiliki kedekatan kultural dengan beliau jika dulu aku mau menjalin tali silaturahmi. Bodohnya tidak terlintas di benakku untuk mengundang beliau, padahal aku mengaku sendiri tidak punya banyak referensi pembicara untuk sosial enterpreneurship. Padahal dari awal budhe ku selalu cerita, kalau suami tante Aini adalah pengusaha sukses, profesor, rektor sekaligus pemilik salah satu perguruan tinggi swasta yang menjadi percontohan dunia.

Hari ini aku belajar, bahwa menjalin silaturahmi itu sangatlah penting. Silaturahmi adalah harta yang kasat mata, tapi sangat berharga. Pada tulisanku yang lainnya aku akan membahas sosok yang sangat baik dalam menjalin dan menjaga tali silaturahmi, beliau adalah almarhum Kakek Buyutku. Cerita mengenai sosok beliau yang arif, berkharisma, dan rasa persaudaraan yang tinggi masih melegenda di keluargaku. Namun yang terpenting saat ini, yang ingin aku tanamkan pada diriku baik-baik setelah hari ini, bahwa menjalin dan menjaga tali silaturahmi itu sangat penting dan berharga. :)