Sebenernya udah kepengin nulis tentang ini, tentang percaya pada sebuah pilihan yang kita buat, sejak tahu tanggal 13 Februari 2015 adalah tanggal dibukanya pendaftaran SNMPTN. Ya, hari ini adik saya akan ikut serta dalam seleksi tahunan yang diselenggarakan pemerintah untuk para lulusan SMA yang ingin meneruskan pendidikan tinggi. Tulisan ini saya dedikasikan untuknya, Bias Imani, sebagai hadiah awal dia berani memutuskan satu pilihan yang akan ia perjuangkan. Tulisan ini juga merupakan pengingat bagiku kelak, ketika saya mungkin menghadapi konsekuensi dari pilihan yang saya buat hari ini.
Saya tidak pernah mengenal Law of Attraction hingga usia 22 tahun. Saya juga tidak pernah belajar mengenai kekuatan sebuah visualisasi mimpi. Selama ini yang saya kenal adalah kekuatan sebuah doa, doa kepada Allah yang dipanjatkan sungguh-sungguh oleh seorang hamba, terutama doa orang tua. Segala pencapaian saya selama ini, lulus menjadi salah satu mahasiswa Farmasi UGM, berhasil menyelesaikan studi S1 sesuai harapan orang tua, lulus ujian komprehensif apoteker dengan nilai yang memuaskan, bahkan diterima di Kementerian Kesehatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, saya sangat menyadari bahwa itu semua hasil doa Ibu, doa Bapak, doa semua orang-orang yang menyayangi saya. Saya pribadi sangat sadar akan diri saya yang kadang, eh sering, lebih sering malas daripada rajin. Lebih sering memilih organisasi dibandingkan kuliah. Lebih sering memilih tidur dan terburu-buru mengerjakan laporan praktikum pada waktu subuh daripada mengerjakan laporan begadangan. Lebih suka makan, bercengkerama dengan teman satu kosan, daripada menyentuh buku tebal atau handout kuliah untuk belajar menjelang ujian. Intinya, terkadang saya sendiri masih takjub, betapa orang pemalas seperti aku ini mencapai itu semua.
Awal tahun 2015 saya awali dengan sebuah webinar dari mbak Dini Shanti, upline di bisnis Oriflame. Pada webinar itu mbak Dini banyak menekankan tentang memberi rasa kepada hal yang kita impikan. Law of Attraction. Apa yang kita bayangkan, apa yang kita rasakan, itulah yang akan menjadi kenyataan. Webinar malam itu membuatku banyak merenung dan berpikir apa yang sudah saya dapatkan di masa lalu.
Mungkin sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika saya aktif di sebuah organisasi Palang Merah Remaja di SMA ku. Mentor saya pada waktu itu, Mas Wawan, pernah memberikan sebuah nasihat yang baru saya sadari betapa dalamnya nasihat tersebut sekarang. Beliau pernah mengatakan bahwa Allah mengikuti prasangka hamba-Nya. Maka hati-hati dengan doa, hati-hati dengan prasangka. Seringkali kita berdoa kepadaNya, tapi kita masih berprasangka kurang baik kepada Allah. "Mungkinkah Allah mengabulkan doaku?" "Ah, keinginanku terlalu muluk-muluk.", dan berbagai prasangka kurang baik lainnya. Padahal, Allah tidak pernah menjawab doa kita dengan hanya kata "Tidak". Tiga jawaban Allah atas doa kita, "Ya, baiklah Aku akan kabulkan doamu sekarang.". "Ya, itu baik untukmu, tapi ini bukan waktu yang tepat untukmu menerimanya.", atau "Tidak, itu tidak baik bagimu. Akan Ku berikan pengganti yang lebih baik untukmu.". Maka ketika doa kita belum juga terwujud, adakah doa kita benar baik untuk kita? Atau kita yang masih berprasangka kurang baik kepada Allah? Analogikan saja dengan meminta pada manusia. Ketika kita baru mengatakan "Hei, boleh aku minta sebagian makananmu?" tapi belum sampai dia menjawab kita sudah melanjutkan lagi dengan "Ah, nggak jadi deh. Kamu pasti nggak mau ngasih.", dia pasti akan cenderung malas untuk jadi membagi makanannya bukan? Belum apa-apa sudah dijustifikasi bahwa dia tidak akan memberikannya.
Mundur lagi, sekitar delapan tahun yang lalu. Masa dimana saya baru masuk SMA. Pada waktu itu, kakak sepupu tertua saya, yang sudah saya anggap seperti saudara kandung, juga baru memulai perjalanannya untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada. Saya yang sedari kecil diam-diam selalu menjadikannya panutan, langsung menuliskan "UGM" di sebuah kertas, lalu saya tempel di lemari pakaian saya. Sayang saya tidak pernah mendokumentasikannya. Lemari itu juga sudah beralih kepemilikan sekarang. Tapi saya ingat, pada waktu itu, saya sama sekali belum menentukan ingin kuliah dimana, apalagi pertimbangan-pertimbangan semacam UGM adalah universitas negeri yang biaya kuliahnya lebih murah daripada swasta, UGM terletak di Jogja yang sangat nyaman dan membuat setiap orang yang ke sana jatuh cinta karena keistimewaannya. Tidak, tidak ada pertimbangan seperti itu. Saya hanya ingin mengikuti jejak kakak saya. Titik.
Saya sendiri tidak menduga, pilihan saya dua tahun setelahnya adalah Farmasi. Jika melihat coret-coretku di buku agenda ketika kelas 2 SMA, saya masih menginginkan jurusan Psikologi. Tapi lagi-lagi, berhubung saya ini pemalas, ketika dipaksa masuk IPA oleh Bapak, yang harusnya saya tetep belajar IPS demi bisa kuliah Psikologi, MANA ADA??? Hahaha. Pilihan farmasi hinggap begitu saja dibenak saya ketika awal kelas 3. Agak ajaib juga sih sebenernya, soalnya pas kelas 3 itu tiba-tiba berasa yakin aja sama Farmasi. Wallahu'alam pokoknya.
And that's how it happened. Saking mantepnya sama Farmasi UGM, pas Ibuk nawarin masukin jurusan teknologi pangan mengingat saya suka sekali makan, sebagai pilihan kedua saya tetep nggak mau. Eh, Bapak sih yang keukeuh nggak boleh. "Kalau nggak mantep, nggak usah dimasukin. Daripada ntar kamu ketrima di pilihan kedua, trus nggak kamu ambil. Kamu berarti udah menutup kesempatan satu orang yang mungkin lebih butuh kursi itu daripada kamu." begitu kata Bapak waktu itu. Ya sudah, jadilah saya menjadikan Farmasi sebagai satu-satunya pilihan pada saat saya mendaftar UM UGM. "Nggak punya cadangan kamu Mi?". Punya dong, saya waktu itu juga daftar UNSOED dengan pilihan pertama Akuntansi, pilihan kedua kalo nggak salah Teknologi Pangan, pilihan ketiga baru Farmasi. Kenapa akhirnya berani ambil IPC? Karena katanya di UNSOED itu yang bagus akuntansinya, saya mah daftar UNSOED agak agak sombong waktu itu, hehe. Pokoknya kalau suruh kuliah di UNSOED, saya harus di jurusan yang paling bagus. Berasa pinter aja gitu selama ini. Padahal...hehehe. Dan Alhamdulillah saya nggak diterima di UNSOED. Jadi saya nggak ngambil kursi siapapun yang pengen kuliah di sana. Hehehe.
Oke, lanjut. Setelah mantep cuma milih Farmasi UGM ketika daftar UM UGM, waktu daftar ke warnet Bapak saya sampe telpon, kasih ultimatum pokoknya ngga usah tergoda masukin pilihan kedua ketiga kalo nggak yakin. Saya fokus doa dan ikhtiar buat ke sana. Em, banyakan mananya saya lupa. Soalnya kadang masih males "minta sama Allah" dan males belajar waktu itu (*ups). Soalnya saya yakin banget waktu itu, yakin dan percaya. Ibu, Bapak, Mbah Putri, Yangti udah doain saya siang malam. Belajar? Yaaaah. Istirahat 2 jam 30 menit setelah belajar 1 jam wajar kan? Oke, yang barusan ini ngga boleh dicontoh. Balik lagi soal percaya pada sebuah pilihan.
Pada waktu itu, saya emang udah mantep banget sama Farmasi. Lagi-lagi, entah kenapa. Yang jelas, kata Bapak, selama kamu meminta petunjuk bener-bener sama Allah, MINTA PETUNJUK yaa bukan sekedar pengin pengin nggak jelas, Insyaa Allah itu jalannya. Alhamdulillah, Allah berikan apa yang saya yakini sebagai pilihan saya satu-satunya. Meskipun pake acara ada drama nangis abis pulang dari UM karena pas dicocokin sama kunci jawaban di koran KR sama nyocokin jawaban punya temen, jawaban saya banyak yang beda. Padahal kan yang pegang kunci yg bener tetep UGM yak?
And, fast forward. Saya kuliah di UGM, tempat yang saya impikan sejak Mas Sera, si kakak saya itu juga kuliah di sana. Meskipun dengan masa perkuliahan yang lumayan lama, 5 tahun (4 tahun S1 dan 1 tahun Profesi), Alhamdulillah. Sekarang saya bisa disebut sebagai seorang Apoteker. Lalu tibalah saya pada masa harus menentukan pilihan selanjutnya. Pilihan untuk langsung kerja dan mau kerja dimana, atau mau langsung ambil S2 dan mau S2 dimana, atau nikah dulu sebelum dua-duanya.
Sebagai anak tertua, yang dengan dudulnya ngga pernah punya tabungan cukup atau bisnis yang cukup stabil supaya dibolehin langsung S2 sama orang tua, pilihan saya akhirnya pada bekerja. Kerja dulu, S2 nanti kalau udah kerja, udah ngerasain lapangan. Karena keinginan jurusan S2 saya juga bukan farmasi. Kerja pun sama, saya nekat lagi dengan prinsip yang diajarin Bapak.
"Pilih mana yang diinginkan, minta petunjuk sama Allah, begitu dapet yang yakin mana, doa dengan spesifik apa yang kamu inginkan. Berdoa juga supaya dalam proses mendapatkan yang kamu inginkan, ngga menyakiti orang lain, ngga dzalim sama orang yang mungkin lebih butuh pekerjaan itu daripada kamu."
Sama seperti saat mau kuliah. :)
Pilihan saya jatuh pada dua tempat, Kementerian Kesehatan (Kemkes) atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK). Seleksi untuk dua tempat ini agak lebih lama daripada lowongan kerja lainnya. Meskipun sempet kepikiran nyambi di apotek dulu, sambil nunggu seleksi dua tempat ini dimulai, ujung-ujungnya saya ngga jadi nyambi di apotek. Alasan? Ngga enak kalau suatu saat harus ijin buat ikut proses seleksi dua tempat ini bilang aja males.
Setelah mengalami banyak hal pada proses seleksi Kemkes dan BPJSK, pada akhirnya saya dinyatakan tidak lolos seleksi tahap wawancara direksi BPJSK. Pas pengumuman itu, saya sedang berada di Jakarta, dimana hari Sabtunya saya akan menjalani Tes Kompetensi Bidang (TKB) Kemkes sebagai seleksi tahap tiga. Dari awal sebenernya saya udah deg-degan, gimana kalau pengumuman BPJSK tiba-tiba keluar. Saya harus milih mana. Atau masih bisa ngga jalanin dua-duanya. Namun Allah berkehendak lain. Saya dinyatakan tidak lolos BPJSK. Padahal setelah tahap tersebut, hanya tersisa tes kesehatan dan OJT untuk akhirnya merasakan menjadi pegawai BPJSK.
Kecewa? Hmm, pada waktu keluar pengumuman, saya nggak terlalu mikirin itu sih. Karena saya harus segera move on, fokus belajar buat TKB hari Sabtu, 22 November 2014. Cuma jujur aja nih, setelah TKB, lalu pada masa menunggu pengumuman hasil akhir seleksi CPNS Kemkes yang memakan waktu dua bulan, saya sempat meragukan dan mengutuk diri saya sendiri. Perasaan minder, "Masa alumni BEM, yang suka bilang kalau softskill itu ngga bisa cuma dipelajari di dalam ruang kuliah, nggak lolos seleksi wawancara, dimana biasanya pengalaman organisasi dan softskill yang sangat menentukan di sana?". Minder, malu, takut adik-adik nggak mau mengembangkan diri di luar ruang kuliah, semua pikiran jelek itu ada di otak saya. Belum ditambah komentar-komentar nggak enak dari orang dekat, dikatain saya terlalu idealis lah cuma mau daftar dua tempat itu sebagai percobaan pertama, dikatain "Nyari apa siiiih di Jakarta? Harus Jakarta banget yaa? Kenapa nggak pulang Purbalingga aja?", dan serentetan komentar lain yang nggak enak didengar. Pokoknya mah yang negatif-negatif.
Diselingi perjalanan umroh, saya berusaha ngga hilang kepercayaan sama Allah. Saya berusaha buat yakin banget Allah selalu kasih yang terbaik buat saya. Sepulang umroh, saya bergegas balik ke Jogja demi menyendiri, biar kalau nggak diterima, nangis nangis sendiri aja gitu di kosan. Orang rumah ngga usah tahu. Tapi alhamdulillah, selama saya di Jogja, ketemu sama temen-temen kuliah, mulai jalanin Oriflame lagi, perasaan saya membaik. Apalagi setelah webinar dari mbak Dini Shanti waktu itu. Saya menemukan banyak jalan, banyak cara, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dan yang paling penting, mengembalikan prasangka baik saya kepada Allah. Masya Allah.
Dan setelah masa penantian 2 bulan, akhirnya pengumuman CPNS itu keluar. Alhamdulillah, saya dinyatakan lolos sebagai salah satu CPNS Kementerian Kesehatan, pada formasi Perencana Pertama, di satuan kerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Saya nggak bisa ngungkapin perasaan saya waktu itu.
Nah, balik lagi ke soal percaya pada sebuah pilihan. Kalau ditarik ke belakang lagi, jalan Allah buat saya, sebenernya udah sesuai dengan apa yang saya minta. Hanya saja, kadang manusia lupa, dengan apa yang telah dia minta. Saya share di sini bukan bermaksud sombong, tapi saya harap teman-teman yang membaca, dapat mengambil hikmah darinya.
Pada saat saya memutuskan untuk hanya mendaftar di dua instansi tersebut, saya sholat, saya minta petunjuk sama Allah, dari dua itu, mana yang paling baik untuk saya, mana yang harus saya yakini sebagai pilihan saya. Bukan tidak mungkin, pada perjalanannya, saya harus memilih salah satu meskipun belum pada posisi pasti diterima. Dan saya memang minta, kalaupun harus memilih, Allah saja yang memilihkan. Maksudnya ditolak aja gitu. Bukan saya yang memutuskan buat nggak dateng seleksi.
Keyakinan saya jatuh pada Kementerian Kesehatan. Ada beberapa pertimbangan yang lebih memberatkan hati saya ke sana, lebih dari sekedar pengen kerja di BPJSK sebagai pemenuhan rasa penasaran saya terhadap badan yang dipercaya pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional, mendapatkan gaji 8 juta sebulan, sekaligus membuktikan bahwa aktivis akan mendapatkan nilai lebih di mata pemberi kerja, supaya adik-adik saya di kampus tidak takut untuk beraktivitas organisasi di luar perkuliahan. Pertimbangan yang lebih dari itu yang tidak perlu saya ungkapkan di sini.
Ketika melihat tiga pertimbangan saya di BPJSK, sebenarnya ketika saya tertolak, saya diingatkan pada perkataan saya sendiri. Saat masih aktif, saya pernah mengatakan kepada adik-adik saya, "Jangan berorganisasi cuma buat manjangin CV. Cuma buat ngisi daftar riwayat organisasi dan kepanitiaan.". Maka sebenarnya tidak pantas, saya menyesali dan bahkan merasa minder ketika ditolak BPJSK karena merasa saya aktif berorganisasi. Niatan saya di organisasi dulu bukan itu.
Dan satu lagi, saya mencoba memvisualisasikan mimpi saya sesaat setelah saya lulus apoteker. Saya mikirnya waktu itu, ini merupakan permulaan babak baru dalam kehidupan saya. Saya ingin mengatur kembali tujuan hidup saya, impian-impian saya, dan mencoba metode visualisasi mimpi ini. Saya dapet ilmu ini sejak awal masuk kuliah, tapi dulu saya terlalu malas untuk membuatnya. Dan inilah apa yang saya tempel di buku impian saya, pada bagian karir atau pekerjaan,
![]() |
Buku Impian, pada bagian karir atau pekerjaan. |
Buku impian saya sekarang memang saya pindah, berhubung nemu buku sketsa lucu di Togamas. :p Foto ini saya ambil sebelum saya memindahnya ke buku yang baru. Jadi di buku ini memang belum saya tambahin tulisan. Saya mencetak gambar ini, dan menempelnya seperti ini sekitar bulan September. Saat saya sudah menentukan pilihan hanya akan mendaftar di Kemkes dan BPJSK. Kenapa ngga nempel logo BPJSK? :) Ya itu tadi. Pilihan saya sebenarnya telah jatuh pada satu tempat. Tapi sebagai manusia, tidak ada salahnya punya rencana cadangan kan? :)
Di halaman tersebut, saya tempel foto calon kantor saya, bendera Indonesia, dan foto alm. Yangtung. Kenapa ada alm. Yangtung? Karena selama ini, saya bertahan menjalani kuliah di farmasi, motivasi terbesar saya setelah orang tua adalah beliau. Pernah, sebelum beliau meninggal, beliau bilang kelak saya akan menjadi apoteker. Saya cuma cengengesan aja waktu itu. Nggak menyangka, ucapan beliau menjadi gelar dan sumpah yang melekat di hidup saya sekarang. Jadi maksudnya, karena udah terlanjur jadi apoteker, untuk mewujudkan keinginan saya buat mengabdi pada Indonesia itu yaa, salah satu jalannya di Kementerian Kesehatan, berhubung saya kurang sreg dengan kerjaan klinis maupun industri. Emang sukanya regulasi. :)
Dari dua kejadian dalam hidup saya di atas, tentang memilih kuliah di Farmasi UGM dan memilih menjadi PNS di Kementerian Kesehatan, saya merasa diajarkan sesuatu oleh Allah. Percaya pada pilihan yang kita ambil itu wajib, selama dalam proses memilih kita melibatkan Allah didalamnya. Dan untuk visualisasi mimpi, Law of Attraction, apapun itu namanya. Bukan percaya kepada kekuatan visualisasi sehingga impian kita terwujud. Namun dengan visualisasi mimpi, dengan merasakan apa yang kita impikan, dengan berusaha menerapkan Law of Attraction, kita sebenarnya sedang berusaha untuk terus berprasangka baik kepada Allah. Terwujudnya impian kita memang kuasa Allah, tapi selain bekerja keras untuk mewujudkannya, kita perlu meyakini bahwa Allah akan mengabulkan doa-doa kita. Sekali lagi, perlu berprasangka baik sama Allah. Kita perlu percaya pada pilihan yang telah kita buat. Sehingga ketika dalam proses mewujudkan impian tersebut, kita menikmatinya, menjalaninya dengan penuh energi positif, penuh prasangka baik kepada Allah, penuh keyakinan bahwa cobaan apapun yang terjadi adalah jalan dari Allah untuk memantaskan kita meraih impian. Dan ketika impian itu terwujud, kita tidak lupa, tidak alpa hanya menganggapnya hasil dari kerja keras kita. Karena Allah yang Maha Berkehendak atas semuanya. Masya Allah. :)
Dan untuk adikku, yang hari ini akan melakukan langkah pertama menuju impiannya, bismillah yaa Yas, Insyaa Allah. :)
Jika ada hikmah dan kebaikan yang bisa diambil, semua berasal dari Allah. Jika ada keburukan yang tidak sepatutnya dicontoh, itu berasal dari kelemahan saya sebagai manusia. :)