Rencanamu ke depan
apa, Mi? Udah mikirin habis ini mau ngapain, Mi? Mau kerja dimana, Mi? Habis
lulus mau langsung nikah, Mi? Habis sumpahan langsung pulang, Mi?
Hahahaa...pertanyaan
yang lagi seriiiing banget menghampiri telingaku akhir-akhir ini. Dan sejauh
ini, yang bisa saya jawab adalah "My father gives me 6 month for me to
make my own path." :)
Saya yakin pertanyaan yang sama menghampiri teman-teman jugak. Ditambah perasaan iri karena jurusan sebelah banyak yang udah melamar, dilamar, bahkan diterima di perusahaan nasional yang bonafide bahkan multinasional. Hmm, bukan iri sih sebenernya, lebih pada perasaan, "Dia udah, kok aku belum yaa?" :)
Perasaan ini sudah diwanti-wanti oleh salah satu dosen kami sebenarnya, tapi saya lupa siapa :D Yang jelas beliau sempet menyampaikan ini di kelas. "Nanti anak-anak FKK hati-hati yaa. Pasti ada perasaan tertinggal bahkan mungkin akan ikut tergoda buat daftar industri." :D *sepertinya ini benar-benar terjadi hahaha :D
Saya yakin pertanyaan yang sama menghampiri teman-teman jugak. Ditambah perasaan iri karena jurusan sebelah banyak yang udah melamar, dilamar, bahkan diterima di perusahaan nasional yang bonafide bahkan multinasional. Hmm, bukan iri sih sebenernya, lebih pada perasaan, "Dia udah, kok aku belum yaa?" :)
Perasaan ini sudah diwanti-wanti oleh salah satu dosen kami sebenarnya, tapi saya lupa siapa :D Yang jelas beliau sempet menyampaikan ini di kelas. "Nanti anak-anak FKK hati-hati yaa. Pasti ada perasaan tertinggal bahkan mungkin akan ikut tergoda buat daftar industri." :D *sepertinya ini benar-benar terjadi hahaha :D
Saya pun mengalami
kerisauan yang sama. Maybe some people expect something different from me, but
:) I'm not always have a rigid plan like you were expected. I have a big dream,
maybe too big to be true. But, Allah always hear our wish, even it's just as
loud as our breath, right? :)
Sejak awal semester
empat, jujur saya sudah banyak mengutuk profesi ini. Hahah. Bahkan di semester
delapan sampai semester pertama profesi, makin kuat kemauan saya untuk tidak
sama sekali akan mengabdikan diri kepada profesi ini. Tidak akan. Pokoke mboten
badhe nyambut damel wonten farmasi. Berasa dendam kesumat banget yak? Hahaha.
Bahkan motivasi memilih tempat PKPA di Jakarta aja simple : pengen main. Gak
ada alasan lain. Orang bilang di situ gabut, nilainya susah, dan seterusnya
bahkan saya tutup kuping. Pokok men Jakarta boy!
Dan pada akhirnya, masa PKPA saya yang dimulai dengan dua bulan di Jakarta dan diakhiri dengan satu bulan di Apotek, berhasil saya lalui. Di awali dengan kemuakan yang amat sangat terhadap profesi satu ini. Ya, saya memang jatuh bangun mencintai profesi ini. Mulai dari bertekad lulus cumlaude dan bekerja di industri farmasi multinasional, sangat menggebu-gebu membela profesi ini melalui gerakan mahasiswa di BEM, sampai merasa muak dan ingin segera meninggalkan dunia ini lalu sekolah lagi supaya bisa bekerja di tempat yang saya sukai.
Dan pada akhirnya, masa PKPA saya yang dimulai dengan dua bulan di Jakarta dan diakhiri dengan satu bulan di Apotek, berhasil saya lalui. Di awali dengan kemuakan yang amat sangat terhadap profesi satu ini. Ya, saya memang jatuh bangun mencintai profesi ini. Mulai dari bertekad lulus cumlaude dan bekerja di industri farmasi multinasional, sangat menggebu-gebu membela profesi ini melalui gerakan mahasiswa di BEM, sampai merasa muak dan ingin segera meninggalkan dunia ini lalu sekolah lagi supaya bisa bekerja di tempat yang saya sukai.
Ya, semua berawal
dari perasaan terakhir saya pada profesi ini: FRUSTASI DAN BENCI. Saya mungkin
terdengar frontal, tapi memang itu yang saya rasakan. Tapi dua bulan PKPA di
Jakarta membuat saya berpikir ulang terhadap banyak hal. Membuat saya begitu
mensyukuri jalan yang sudah saya lalui sejauh ini. Karena ternyata jalan yang
saya lalui termasuk amat sangat MUDAH dan STANDAR.
Sejauh ini, yang
saya tahu, saya frustasi terhadap profesi ini karena saya merasa tidak ada
harapan di dalamnya. Semua bahan ajaran dosen bagi saya bagai omong kosong,
mimpi yang hampa. Karena makin lama saya mengenal profesi ini melalui cerita
sebagian orang, semakin tidak ada harapan. Industri gajinya lebih kecil
daripada industri lain, rumah sakit perlu berjuang lama dan panjang untuk
diakui, apotek? Haaah. Apalagi. Kayaknya Apoteker bener-bener ga ada harapan.
Oke, balik lagi ke
masa PKPA. PKPA di Jakarta membuat saya membuka mata. Beragamnya karakter dan
latar belakang sesama mahasiswa PKPA maupun apoteker praktisi di rumah sakit
saya belajar, menyadarkan saya betapa mudahnya jalan yang saya lalui. Apa sih
sejauh ini perjuangan saya untuk menjadi seorang apoteker? Ujian masuk ke UGM,
lolos, kuliah S1, skripsi, wisuda, kuliah profesi, that's it. Tidak pernah
terbayangkan oleh saya, ada sebagian rekan sejawat yang menjalani jalan lebih
berliku daripada saya.
Kisah pertama
dimulai dari teman satu kelompok saya di minggu pertama praktek. Mereka berasal
dari Indonesia bagian timur. Berasal dari universitas yang sekali menerima
mahasiswa baru farmasi sebanyak 500 orang. Bisa dibayangkan 500 orang? Itu baru
satu universitas. Lalu saya baru tahu kalau program profesi apoteker di daerah
Indonesia timur hanya terdapat di salah satu universitas negeri dimana satu
angkatannya hanya menerima 80 orang. Kemana aja yak saya selama ini? Yaa maklum
sih, ga pernah dapet jatah dari kampus buat ikut kegiatan nasional organisasi
mahasiswa farmasi se Indonesia. Hehee. Alasan sih, dasar males aja.
:D
Nah, temen saya yang satu ituuu, dia lulus dr kampusnya dengan predikat S1 Farmasi tanpa pertanggung jawaban kampusnya untuk menyediakan program profesi. Saya juga belum paham sih, gimana ribetnya bikin program studi apoteker. Tapi saya gak habis pikir, apa para pendiri fakultas farmasi tersebut gak kasian yaa sama nasib mahasiswanya? Setinggi-tingginya mahasiswa S1 dibanding SMF, tetep aja sama bakal disebut Tenaga Teknis Kefarmasian. Meskipun mungkin pengetahuannya mungkin setara apoteker, tapi tetep aja gak punya kekuatan hukum buat berpraktek sebagai apoteker. Temen saya sempet bekerja di salah satu rumah sakit di sana, lalu uang gajinya dia kumpulkan buat ke Jakarta. Buat apa? Buat nyoba tes masuk salah satu program studi apoteker di salah satu universitas di Jakarta. Itu baru nyoba loh guys, pas saya tanya, trus kalo waktu itu gak ketrima gimana? Kata dia, ya saya pulang. Alhamdulillah, Allah memeluk mimpi-mimpi hambaNya. Beliau lolos tes masuk, dan akhirnya menjalani program studi profesi apoteker. Saya merasa tersindir, sangaaaaaat tersindir. Saya bahkan ga perlu usaha apapun selain lulus sidang tertutup skripsi dan segera sidang terbuka untuk mendaftar program profesi saya. Tanpa tes pula. Saya merasa tertohok, betapa tidak bersyukurnya saya selama ini.
Nah, temen saya yang satu ituuu, dia lulus dr kampusnya dengan predikat S1 Farmasi tanpa pertanggung jawaban kampusnya untuk menyediakan program profesi. Saya juga belum paham sih, gimana ribetnya bikin program studi apoteker. Tapi saya gak habis pikir, apa para pendiri fakultas farmasi tersebut gak kasian yaa sama nasib mahasiswanya? Setinggi-tingginya mahasiswa S1 dibanding SMF, tetep aja sama bakal disebut Tenaga Teknis Kefarmasian. Meskipun mungkin pengetahuannya mungkin setara apoteker, tapi tetep aja gak punya kekuatan hukum buat berpraktek sebagai apoteker. Temen saya sempet bekerja di salah satu rumah sakit di sana, lalu uang gajinya dia kumpulkan buat ke Jakarta. Buat apa? Buat nyoba tes masuk salah satu program studi apoteker di salah satu universitas di Jakarta. Itu baru nyoba loh guys, pas saya tanya, trus kalo waktu itu gak ketrima gimana? Kata dia, ya saya pulang. Alhamdulillah, Allah memeluk mimpi-mimpi hambaNya. Beliau lolos tes masuk, dan akhirnya menjalani program studi profesi apoteker. Saya merasa tersindir, sangaaaaaat tersindir. Saya bahkan ga perlu usaha apapun selain lulus sidang tertutup skripsi dan segera sidang terbuka untuk mendaftar program profesi saya. Tanpa tes pula. Saya merasa tertohok, betapa tidak bersyukurnya saya selama ini.
Pada waktu itu,
kisah beliau cukup menampar saya, dan membuat saya bersyukur atas kemudahan
yang saya miliki. Tapi hal tersebut belum mampu membuat saya mensyukuri profesi
ini. Profesi yang sebentar lagi saya emban amanahnya seumur hidup. Berikutnya
saya dipertemukan dengan salah satu pegawai di rumah sakit tersebut, yang
tengah menjalani pendidikan profesi apoteker juga seperti saya. Jika tidak ada
aral melintang, kami akan menjadi rekan sejawat tahun ini. Awalnya
saya berpikir modus utama beliau adalah kenaikan pangkat. Namun ternyata, di RS
saya belajar, ketika beliau nanti lulus apoteker tidak serta merta beliau akan
naik ke golongan PNS apoteker fresh graduate, golongan 3B.
Saya sampe heran,
kok mau-maunyaa susah-susah sekolah lagi tapi gak langsung naik pangkat. Naik
tunjangan remunerasinya kali yaa. Hehehee. Tapi tetep aja, saya salut dengan
beliau, apalagi tidak hanya satu atau dua orang yang menjalani kuliah sambil
bekerja seperti beliau. Ada juga tenaga administrasi di salah satu poli, yang
sekarang sedang menempuh program sarjana farmasi di salah satu universitas.
Beliau bahkan sampai meminta bahan kuliah kami di UGM, buat bekal belajar
katanya. :O Rasanya saya kok selama ini kuliah sangat tidak bersyukur yaa? :(
Dari mereka saya
belajar bahwa seterpuruk apapun profesi ini sekarang, masih ada orang-orang
yang mengharapkan penghidupan yang lebih layak dari profesi ini. Dari mereka
saya perlahan mulai mensyukuri dan merenung, betapapun saya merasa terdampar
alias kesasar di profesi ini, saya yakin Allah punya rencana dibalik ini semua.
Ada hikmah yang Allah ingin saya ambil dari profesi ini. :') Dan saya meyakini,
meskipun saya tidak seperti mahasiswa baik-baik kebanyakan di kampus saya, yang
IPnya cumlaude, yang penelitiannya banyak, yang prestasinya banyak, Allah pasti
sudah menyiapkan tempat untuk saya di dunia profesi ini. "Man Saara Ala
Darbi Washala, Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan."
Sekarang masalahnya,
kemana tujuan saya? Jalan mana yang sedang saya tempuh? Saya bersyukur lagi,
saya diberikan kesempatan untuk membaca novel ini di akhir perjalanan saya di
Jakarta. :) Setelah membaca novel ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara ini, samar
namun perlahan makin jelas jalan mana yang sedang saya lalui. Mungkin buat
teman-teman saya yang satu minat, kalo yang masih "kabur" untuk
melihat tujuannya, bisa merenung dan flash back sebentar. Selama ini, di jalan
mana teman-teman paling banyak menghabiskan waktu kalian? Kalo jawabannya
kebanyakan main yaa, jangan salahin saya sih kalo itu. Siapa suruh main mulu
pas kuliah. Gak pake organisasi atau kegiatan lain. :P Kalau kerjaan kalian
main mulu pun, bisa jadi itu jalan kalian. Tuh coba tonton di Kompas TV, ada
acara The Doctors Go Wild. Hostnya dua orang dokter yang menjelajah nusantara buat
mempelajari ilmu-ilmu pengobatan tradisional. Kata kuncinya pengobatan loh
guys, mosok ga malu profesi sebelah lagi yg ngubek-ngubek belajar obat? XD
Hmm, sedikit buat
gambaran...kalau hasil perenungan saya menyadarkan saya pada dua hal. Saya jadi
teringat mimpi saya sewaktu SMP dan apa yg sudah saya lakukan sejauh ini. Saya
kehilangan kesempatan main saya, saya menghabiskan waktu liburan saya, saya mengorbankan
waktu bersama keluarga saya di saat teman saya main ke mal, ke karimun jawa,
keliling Indonesia, hal-hal yang juga saya ingin lakukan untuk satu hal ini :
organisasi. Organisasi bahkan yang jadi motivasi terbesar saya sewaktu akan
kuliah. Saya salah satu korban ucapan mentor saya ketika SMA : "Organisasi
ketika kuliah jauh lebih asyik Mi, dst." Saya korban yang dengan bahagia
menjalani dan ingin membuktikan ucapan beliau. Jujur saja, sampai saya skripsi,
kuliah bukan fokus utama saya. Hehehe.
Organisasi saya di
SMA dan di kampus sangat jauh berbeda. Yang satu organisasi lapangan, yang satu
organisasi ruangan. Makanya gak heran, saya tambah gendut
setelah organisasi di kampus. *curhat* Tapi kalau saya fokuskan lagi, spesialisasi
saya dari dulu satu : mikir buat ngurusin orang. I realized that I'm a thinker
:) Saya tertarik sekali diskusi-diskusi mengenai pengembangan organisasi,
pengembangan orang-orang di dalamnya, dan seterusnya. Intinya teh suka ngurusin
orang. :P Mungkin karena itu juga saya sangat enjoy berorganisasi di BEM yang
isinya diskusi-diskusi agak sotoy dikit soal kebijakan yang menyangkut hajat
hidup orang banyak. *tsah
Nah, kalau
dipikir-pikir sebagian besar waktu saya dihabiskan di sana, ya mungkin pantes
aja saya keselnya setengah mati kalo suruh mikirin soal obat. #eh Sekarang
insya allah udah nggak :) Perlahan tapi pasti, saya mulai memahami kenapa saya
terdampar di dunia profesi ini. :)
Kalau kalian gimana guys? Yuk merenung sejenak, sebelum ujian kompre dan sumpahan menyerang :D hahaha
Kalau kalian gimana guys? Yuk merenung sejenak, sebelum ujian kompre dan sumpahan menyerang :D hahaha
Intinya siiiih,
kalau yang belom sempet memanfaatkan masa PKPA buat "mencari" dan
"menemukan" segera cari. Asli. Segera. Sumpahan tanggal 26 Agustus
Broooo :D Abis itu sebenernya masih ada waktu juga sih buat nyoba kerja di
beberapa tempat trus pada akhirnya insya allah temen-temen akan menemukan jalan
yang temen-temen mau. Tapi saya teringat pesan dr Mas Oki, alumnus kita
angkatan 2003, beliau pernah bilang kalau menemukan tujuan yang pengen
temen-temen capai sebelum lulus juga penting, karena predikat fresh graduate
itu punya beberapa kelebihan dibandingkan udah agak lawas graduate. Hehe. Kalau
beliau, dulu sih katanya kalau tahu beliau gak terlalu "cocok" di
lab, beliau pengen ikut program Future Leader nya Nestle *kalo ga salah inget.
Tapi beliau gak bisa ikut karena pas nemu udah bukan fresh graduate lagi :)
Haaaah, panjang
banget yak saya cerita. Yaa, buat sharing aja sih. Saya juga nulis sambil
memantapkan dan menguatkan hati untuk pilihan yang akan saya ambil. Gak usah
mindeeer, yang lain uda dapet kerjaan kita belom. :) Masing-masing orang punya
jalannya sendiri-sendiri. :) *sotoy kan? ._.*
Haha, next time saya
pengen sharing apa yang saya dapet setelah PKPA di apotek. Kenapa gak puskesmas
juga? Jangan deh. Saya terlalu trauma kalo harus mengingat tempat PKPA yang
satu itu. Pokoknya saya gak ngerasa cocok aja ngabdi di situ. Udah. :)